Pergejolakan Yang Ada Di Aceh Pada Masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM)

Sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
(Bagian II)

Pasukan Gerakan Aceh Merdeka pada masa konflik. @Doc. Istimewa.
Pada tahun 1976 Aceh bergejolak kembali. Ketika itu Kodam I/Iskandar Muda masih ada, sehingga GAM dapat dipadamkan dan direndam dalam tempo yang relatif singkat dan Tgk. Hassan Muhammad di Tiro serta beberapa pengikutnya memilih berjuang diluar negeri. 

Akan tetapi pada tahun 1989 GAM muncul kembali di Aceh, yang di daerah dipimpin oleh beberapa desertir TNI/Polri dan tokoh-tokoh lokal. Gerakan yang sebenanya sudah hampir-hampir mereka lupakan. Provokasi yang mudah merasuk kedalam pikiran sebagai rakyat adalah ketidakadilan ekonomi dan kesenjangan kehidupan, termasuk di dalamnya pengagguran dan ditutupnya Pelabuhan Bebas Sabang pada tahun 1984 serta dihapuskannya tunjangan pensiunan berdasarkan surat keterangan bekas tentara (SKBT) kepada mereka yang turut berjuangan selama revolusi fisik di awal kemerdekaan.

Sebelumnya, pada tahun 1985, Kodam I/Iskandar Muda dilikuidasi kedalam Kodam Bakti Barisan di Medan. Maka untuk menumpas GAM, mulai tahun 1989 itu digelar sebuah operasi yang lebih luas, bernama Opeasi Jaringan Merah, atau lebih dikenal sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pada Juli 1990, Presiden Soeharto mengerahkan 6.000 pasukan tambahan. Semua kekuatan ini dikerahkan untuk menghadapi sisa-sisa kekuatan GAM, yang pada tahun 1990 berjumlah 203 orang, yaitu: 60 orang sisa GAM angkatan pertama ( 2 diantaranya didikan luar negeri ),143 anggota baru didikan luar negeri (30 orang di Pidie, 83 di Aceh Utara, 24 di Aceh Timur, dan 6 di Aceh Tengah).

Menurut sejarawan Anhar Gonggong, sumber kekerasan terhadap rakyat Aceh adalah kebijakan pemerintah pusat yang dibangun diatas keadaan psikologis yang penuh curiga kepada Aceh. Kecurigaan itu semakin membesar apabila mendakati pemilu. Otto Syamsuddin Ishak juga menyimpulkan hal yang sama: “Pelanggaran HAM dimulai dengan kekerasan politik pada pemilu 1987”. Otto melporkan keluhan warga yang ditemuinya, “Bapak bisa bayangkan, kalau keluar rumah tanpa memakai kaos atau baju kuning, maka dapat boh soh (tinju), Walap (wajib lapor) dan cap GPK (Gerakan Pengacau Keamanan).

Pada tanggal 7 Agustus 1998 DOM di cabut oleh Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto, militer Indonesia tidak berhasil menumpas gerakan ini, padahal GAM hanya mempunyai basis yang kuat di tiga Kabupaten, yaitu Pidie Aceh Utara, dan Aceh Timur, dari sepuluh kabupaten/ kata madyah yang ada waktu itu. Sejak pemberlakuan DOM itu wilayah pantai timur dan utara Aceh menjadi ladang pembantaian. Bukan hanya anggota GAM yang menjadi korban, masyarakat sipil yang harusnya dilindungi berdasarkan Konvensi Jenewa ( 1949 ) yang diakui Indonesia ( UU No 59 tahun 1958 ), justru merupakan korban yang sesungguhnya. Pembunuhan penghilangan secara paksa, perkosaan,dan tindak kekerasan laninya oleh aparat Negara atau oleh sekolompok GAM. Karena  itu, Baharudin Lopa menyatakan, jika revormasi Mei 1998 tidak terjadi maka proses ethnic cleansing ( pembersihan etnis ) akan berjalan sempurna di Aceh.

Reformasi Mei 1998 menutup sejara ottoritarinisme rezim Orde Baru. Militer dapat tekanan kuat untuk tidak berpolitik, harus perfesional harus kembali ke barak. Di Aceh, mahasiswa menuntut pencabutan DOM, yang didukung oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh dan Gubernur Acuh Samasudin Mahmud. Munir dan beberapa aktifisham Aceh pada akhir Mei 1998 membawa dua janda korban DOM asal Pidie, ke Jakarta mengadukan nasibnya ke komisi Nasional Hak Asasi Manusia ( Komnas HAM ) dan Puspom ABRI. Tunttutan itu rupanya disambut oleh DPR  dan pemerintah. DPR pada tanggal 16 Juli 1998 membentuk  Tim pencari Fakta. Panglima ABRI Jenderal TNI Wranto yang berkunjung ke Aceh, mengumumkan pencabutan DOM dan menyerahkan keaman Aceh sepenuhnya kepada Rakyat Aceh sendiri, termasuk kepada satuan-satuan Polisi dan ABRI di Polda dan korem-korem Aceh. Wiranto menarik seluruh pasukan non Organik keluar dari Aceh. Wiranto juga meminta maaf kepada rakyat Aceh atas tindakan oknum ABRI yang menyakitkan hati rakyat. Presiden B.J. Habibie secara resmi meminta maaf kepada rakyat Aceh atas tindak kekerasan yang dilakukan oleh oknum ABRI dan berjanji menyelidiki kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di daerah-daerah operasi ABRI, seperti Aceh. 

Keputusan pencabutan DOM itu disambut dengan sujud syukur masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh menuntut : 
  • Rehabilitasi sosial dan ekonomi untuk para korban, seperti memulihkan nama baik, menyantuni janda atau korban perkosaan, menanggung biaya sekolah anak-anak korban, dan mengganti kerugian harta benda yang dirampas aparat,
  • Pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa DOM dan proses hukum terhadap pelaku-pelakunya, 
  • Pembebasan narapidana dan tahanan politik serta rehabilitasi nama baik mereka, dan 
  • Pengembalian keistimewaan Provinsi Aceh atau pemberian hak otonomi penuh, antara lain meninjau kembali UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah Aceh. 
Sebelum DOM dicabut, Forum Peduli HAM Aceh telah mengumumkan adanya 679 kasus pelanggaran HAM di Aceh dalam kurun waktu 1989-1998 yang dilaporkan anggota keluarga kepada DPRD ataupun lembaga HAM di Aceh. Untuk mengetahui adanya tindak pelanggaran HAM pada masa DOM di Aceh, Komnas Ham membentuk tim yang dipimpin oleh Sekjen Komnas HAM Baharuddin Lopa. Dari sembilan lokasi kuburan massal diidentifikasi, lima diantaranya digali Komnas HAM. “penggalian ini sudah cukup sebagai contoh kebenaran adanya kuburan massal selama DOM”, Kata Lopa. Selama DOM diberlakukan, sebanyak 781 orang meninggal dunia akibat tindakan kekerasan, 368 orang dianiaya, 163 orang hilang, 3.000 wanita menjadi janda karena suaminya dibunuh atau dihilangkan secara paksa, 15.000-20.000 anak-anak menjadi yatim, 102 bangunan dibakar (termasuk kampus dan sekolah), dan terjadi 102 kasus perkosaan. 

Selain Komnas HAM, Pemerintah Daerah juga membentuk Tim Pencari Fakta Pemda, sebagimana dibentuk di Aceh Utara. Namun, kebijakan politik pemerintahan Habibie tersebut diatas hanya menjadi seteguk air penyejuk saja, karena tidak ada tindak lanjuti dengan kerelaan dan langkah nyata dari pihak pemerintah umumnya dan ABRI khusunya untuk mendengar tuntutan rakyat Aceh.

Pagab Wiranto seolah ingin kasus-kasus pelanggaran HAM dimasa DOM tidak dimintai tanggung jawabnya pada ABRI. “Jika setiap operasi ABRI di masa lalu diminta pertanggungjawabannya, ini akan membuat para prajurit merasa kecut dan gundah,” katanya dalam rapat kerja Komisi I DPR tanggal 13 September 1998. Maka, yang terjadi adalah kembalinya security approach (melalui operasi militer) dan kekerasan, bukannya social and prosperity approach yang dijanjikan. Pemerintah didaerah seperti kehilangan kepercayaan diri dalam berhadapan dengan rakyatnya. Aceh kehilangan jati diri sebagai daerah yang berbasis Islam, menjadi sebuah daerah tanpa hukum. 

Untuk menarik simpati rakyat Aceh, Presiden B.J. Habibie pada tanggal 26 September 1998 di Manado mengumumkan bahwa Sabang dikembalikan menjadi pelabuhan bebas, kawasan pengembangan ekonomi terpadu (kapet). Pada akhir Oktober 1998 Menteri Sosial Yustika Baharsyah mengunjungi masyarakat Aceh dengan membawa paket bantuan untuk korban dan keluarga korban DOM sebesar Rp 2,6 miliar. Tetapi, jumlah dana bantuan ini dikecam oleh Yusuf Ismail Pase (Wakil Ketua Tim Pencari Fakta Pemda Aceh Utara) kareana hanya sepertiga dari harta benda rakyat didaerahnya yang telah dirampas aparat keamanan pada masa DOM.

Pada tanggal 2 November 1998 terjadi razia oleh sekolompok pemuda yang membawa senjata api di bawah pimpinan Ahmad Kandang terhadap kendaran yang melintas Jalan Raya Geundong hingga simpang Kandang, sekitar 2 km sebelah timur Lhokseumaweh. Mereka menganiaya Mayor C.A.J. S. Harahap, istrinya dan Lettu Suwarno serta membakar mobil yang dikendarainya. Meski aparat berhasil menahan 23 orang peserta razia, namun Ahmad Kandang berhasil lolos. Pada tanggal 29 Desember 1998 di Aceh Timur razia kembali dilakukan oleh pengikut Ahmad Kandang terhadap kendaraan di Lhok Nibong. 7 prajurit Yonif 113/Jaya Sakti Bireun yang sedang dalam perjalanan cuti dengan bus Kurnia, diculik dan dibuang ke sungai Arakundo. Esok harinya, massa juga menculik Mayor Edianto Abbas (dan Satgas Marinir) dan Serka Syarifuddin (Koramil Muara Dua). 

Untuk menumpas Ahmad Kandang dan pengikutnya, pemerintah mengelar kembali operasi milter , diberi nama “Operasi Wibawa 99” operasi ini secara resmi diumumkan tangga l 2 Januari 1999, dipimpin oleh Kol. Juharnus Wiriadinata (kapolda Aceh) dan Letkol Pol. Iskandar Hadan (Kapolres Aceh Utara) serta Kol. Inf. Johny Wahab (Dandrem 011/Lilawangsa).

Menurut Albert Hasibuan dan Abdul Ghani Nurdin ( Ketua Forum Peduli HAM Aceh ), kekerasan oleh warga disebabkan karena kekecewaan warga atas janji rehabilitasi dan santunan kepada korban DOM yang tidak di realisasikan secara merata dan komfrehensi, serta belum adanya upaya penegakan hukum terhadap anggota ABRI yang melakukan pelanggarana HAM dimasa DOM.

Minggu pertama Januari 1999 operasi wibawa telah mengakibatkan 11 warga tewas, 2 luka-luka , dan 170 orang ditahan. Pada tanggal 19 Januari 1999, sekitar 50 prajurit ABRI dibawah pimpinan Mayor Bayu Nadjib, mendatangin gedung KNPI di Kawasan Markas Korem 011/Liliwangsa, Lhokseumawe, tempt 40 warga yang diduga anak buah Ahmad Kandang ditahan. 

Pada tanggal 7 Januari 1999 diadakan petemuan yang menyimpulkan, kelambanan pemerintah dalam menangani persolaan Aceh telah menimbulkan kekecewaan berantai. Situasi keamanan yang mencekam, suara-suara yang menuntut otonomi seluas-luasnya atau federasi atau referendum juga terdengar. Karna itu , pemerintah harus kembali ke akar masalah. “Pernyataan  Rakyat Aceh”, yang dicapai hari itu , menuntut pemerintah untuk segera: 
  • Menuntut secara tuntas pelanggaran HAM dimasa DOM,
  • Merehabilitasi psikologis, pemberdayaan ekonomi, dan peningkatan kualitas pendidikan terhadap korban DOM. 
  • Memberi amnesti, abolisi dan rehabilitasi kepada semua tahanan dan narapidana politik Aceh,
  • Memberikan keistimewaan dan otonomi seluas-luasnya kepada Aceh: 80% untuk Aceh dan 20% untuk pemerintah pusat.Tuntutan ini disampaikan kepada Presiden B.J. Habibie di Jakarta pada tanggal 8 Januari 1999. Tuntunan agar Operasi Wibawa dihentikan, juga disurakan oleh Munir (Kordinator Kontras), dan mahasiswa yang tergabung dalam Forum Aksi Reformasi Mahasiswa Islam Daerah Istimewah Aceh (FARMI-DIA). Menurut Bachtiar Aly, langkah terbaik dalam menangani GAM atau GPK/GPL adalah melakukan langkah-langkah positif untuk meyakinkan masyarakat Aceh bahwa ABRI adalah pelindung masyarakat dan tidak akan menyakiti mereka lagi. Selama GAM menyatu dengan masyarakat, gerakan GAM tak akan terselesaikan. 
Tuntutan referendum, atau isu Aceh Merdeka, pun semakin mendapatkan tempat di hati masyarakat Aceh yang melihat tidak hentinya kekerasan dilakukan aparat keamanan. Jika sebelumnya, dalam rangka menyambut kunjungan Tim Pencari Fakta DPR pada tanggal 26 Juli 1998, mahasiswa hanya memasang spanduk “kami tidak menuntut referendum. Kami hanya menuntut keadilan”, maka mulai februari 1999 mahasiswa menyuarakan tuntutan referendum, dengan opsi otonomi khusus atau merdeka.

Baca Terkait:
Daftar Sumber:
Hamid, Farhan, Ahamd. 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu. Jakarta: Suara Bebas.

Penulis: 
Ajelita Winda Kesuma, M Yusrizal. dan Elshafira Putri
(Tugas Makalah Sejarah Aceh Kontemporer Kelompok 2).

Editor:
Labels: Aceh, Sejarah Lembaga, Sejarah Nasional

Thanks for reading Pergejolakan Yang Ada Di Aceh Pada Masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Please share...!

Comments
0 Comments

0 Comment for "Pergejolakan Yang Ada Di Aceh Pada Masa Gerakan Aceh Merdeka (GAM)"

Back To Top