Sejarah Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
(Bagian III/Habis)
Penandatanganan perjanjian perdamaian antara Republik Indonesia (RI) dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau saat ini dikenal sebagai Perjanjian MoU Helsinki pada 15 Agustus 2015, di Helsinki Finlandia. |
Pada tanggal 22 Februari 1999 sejumlah menteri kembali mengunjungi Aceh untuk mempersiapkan program pembangunan Aceh, khususnya rehabilitasi untuk para korban DOM di Pidie, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Diumumkan, pemerintah telah menganggarkan dana Rp 1,5 triliun untuk pembangunan Aceh. Pada tanggal 12 Maret 1999 Presiden Habibie mengeluarkan keputusan Presiden tentang Aceh, yang terdiri dari seumlah tokoh dan cendikiawan Aceh.
Dalam laporannya Tim Penasehat Presiden tentang Aceh merekomendasikan, antara lain, agar:
- Presiden berkunjung ke Aceh dan meminta maaf secara terbuka kepada masyarakat Acehterhadap segala kekeliruan di masa lalu;
- Pemerintah memberikan amnesti umum dan rehabilitasi kepada orang-orang GAM yang menghentikan perlawanannya dan yang sedang ditahan dan/atau yang telah diputuskan hukumannya oleh pengadilan;
- Pemerintah memberikan kompensasi dan bantuan khusus untuk pendidikan bagi korban DOM dan keluarga dekatnya;
- Pemerintah membuka kesempatan kepada keluarga orang-orang yang telah mendapatkan amnesti umum dan yang mau menjadi pegawai negeri;
- Pemberlakuan Tiga Keistimewaan Aceh sesuai UU Nomor 24 Tahun 1956 Tentang Pembentukan Provinsi Daerah Keistimewaan Aceh dan UU Nomor 44 Tahun 1999 Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, segera diwujudkan;
- Pembangunan ekonomi dan ekonomi kerakyatan segera digalakkan agar Aceh dapat mengejar ketertigalannya dari provinsi lain, dengan memanfaatkan perimbangan keuangan yang lebih besar bagi Aceh, khususnya dari sumber daya alam gas, minyak bumi, serta hasil hutan dan lautan;
- Pelabuhan bebas Sabang dihidupkan kembali, agar dapat menjadi salah satu pusat pertumbuhan ekonomi, baik bagi Aceh maupun Indonesia;
- Pelabuhan bandara yang di Blang Bintang di perpanjang landasannya dan dilengkapi serta ditingkatkan statusnya menjadi pelabuhan udara pemberangkatan haji; dan
- Dihidupkan kembali kereta api Aceh dan kualitas nya ditingkatkan sehingga minimal sama dengan kereta api di Jawa.
Pada tanggal 17 Maret Presiden Habibie mengeluarkan Keppres Nomor 14/G1999 tentang Pemberian Amnesti kepada 39 narapidana politik GAM. Lalu sesuai janjinya, presiden pun mengunjungi Aceh pada tanggal 26 Maret., bersama 15 Menteri Kabinet Reformasi Pembangunan. Kunjungan ini disambut unjuk rasa mahasiswa dan tututan referendum. Seolah hendak memperbarui komitmen pemerintah pusat:
- Presiden menyatakan penyesalan dan permohonan maaf atas nama pemerintah dan ABRI kepada masyarakat Aceh dan para korban DOM;
- Presiden juga memerintahkan aparat keamanan untuk tidak melakukan tindakan kekerasan dan pertumpahan darah lagi;
- Memerintahkan pengusutan tuntas terhadap oknum ABRI, Pejabat, dan melakukan pelanggaran hukum dan pelanggaran HAM di Aceh dan membawanya ke meja pengadilan;
- Presiden juga menjanikan “penyelesaian masalah Aceh dan adil, komprehensif dan berorientasi kedepan”.
Sedangkan mengenai referendum, presiden menyatakan itu bukanlah wewenangnya, tapi wewenang MPR. Karena itun presiden mengajak rakyat Aceh untuk menyukseskan Pemilu 1999, sehingga Aceh mempunyai wakil-wakilnya di MPR yang akan memperjuangkan tuntutan referendum. Tuntutan referendum itu disalurkan melalui wakil-wakil rakyat di DPRD kabupaten/kota, lalu dibulatkan oleh DPRD provinsi dan disampaikan kepada anggota-anggota DPR/MPR asal Aceh, memperjuangkan dalam Sidang Umum MPR 1999.
Nyatanya, setelah janji presiden 26 Maret, tindak kekerasan oleh aparat keamanan di Aceh masih tetap terjadi. Menjelang pemilu 7 Juni 1999, intensitas kekerasan di Aceh meningkat, seperti pembakaran bus antara provinsi, pembakaran mobil kampanye, pembakaran sekolah, pembakaran kantor, dan kekerasan lainnya.Pimpinan GAM menolak tuduhan bahwa GAM berada dibalik aksi-aksi kekerasan itu.
Pada tanggal 3 uni 1999 Komnas HAM bertemu dengan Presiden Habibie dan menyampaikan usul agar segera dibentuknya “komisi independen” untuk menginvestigasi kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh sejak pemberlakuan DOM. Komnas HAM menilai pemerintah kurang cepat mengantisipasi kejadian-kejadian di Aceh, belum ada langkah-langkah preventif dan penanggulangan yang seharusnya sudah dilakukan. Karena itu Komnas HAM merekomendasikan agar pemerintah:
- Segera memebentuk komisi independen yang sudah lama diusulkan Komnas HAM;
- Segera mengadili siapapun yang terbukti melanggar HAM rakyat Aceh sejak berlakunya DOM;
- Segera membentuk komisi kebenarandan Rekonsiliasi untuk Aceh;
- Bertanggung jawab tentang masa depan anak-anak yatim piatu dan korban-korban lainnya yang diakaibatakan oleh tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat;
- Segera menciptakan kondisi nyang kondusif dan rasa aman bagi bagi seluruh masyarakat Aceh agar yang mengungsi dapat segera kembali ke rumahnya tanpa ada paksaan;
- Harus memberikan bantuan makanan dan obat-obatan kepada pengungsi;
- Segera menarik unsur TNI yang ada di PPRM dan mengedepankan Kepolisisan RI;
- Membuka dialog dengan GAM dalam rangka menghentikan gangguan keamanan, sebagaimana pernah dilakukan dalam kasus DI/TII Dawud Beureueh; dan
- Bila pemerintah tidak segera menindaklanjuti rekomendasi Komnas HAM ini, maka Komnas HAM mengammbil lngkah-langkah yang konkret yang dapat diterima oleh mayoritas masyarakat Aceh demi masa depannya sendiri dan demi menegakkan keadilan dan hukum serta penghormatan terhadap HAM.
Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru cenderung menggunakan cara militer saja tanpa disertai diplomasi. Memasuki era Reformasi, kedua pendekatan itu sama-sama digunakan, meski masih menekankan pada cara-cara pertama. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar karena meski secara formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun ia tidak memiliki kontrol penuh atas polisi dan militer, yang kala itu secara personal berada di tangan Jenderal Wiranto. Kondisi Timor Timur pasca referendum juga meningkatkan gejolak di Aceh, yang menuntut referendum pula sekaligus menciptakan sikap militer yang semakin keras karena tidak mau “kecolongan” lagi.
Angin segar baru berhembus pada awal 2000, ketika Presiden Abdurahman Wahid mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada 12 Mei 2000, kedua pihak yang bertikai melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC) menandatangani “Jeda Kemanusiaan” (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) yang berlaku 2 Juni 2000-15 Januari 2001. Sayangnya, kekerasan masih terjadi di lapangan. Jeda tersebut digantikan melalui Kesepakatan Dialog Jalan Damai pada Maret 2001, namun juga tidak menghasilkan kemajuan yang berarti. Akibatnya pada 11 April 2001, Presiden mengumumkan Instruksi Presiden No.4/2001 tentang Langkah Menyeluruh untuk Penyelesaian Masalah Aceh, yang tidak mencakup deklarasi keadaan darurat di Aceh.Tapi instruksi tersebut tetap saja membuka jalan bagi peningkatan operasi militer. Impeachment terhadap Gus Dur sebenarnya juga dipengaruhi ketidakmesraan hubungan Gus Dur dengan militer.
Pada Juli 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur, berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement, CoHA) yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002. Lagi-lagi jalan buntu menghadang kedua belah pihak. Keluarlah Keputusan Presiden No.18/2003 yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk menerapkan status darurat militer di Aceh. Sebuah harga yang harus dibayar Megawati atas kemesraannya dengan militer pasca jatuhnya Gus Dur. Akibatnya bisa ditebak, sejarah berulang, kekerasan demi kekerasan terus berlangsung di Aceh.
Susilo Bambang Yudhoyono (Menkopolsoskam) dan Jusuf Kalla (Menko Kesra) pada Kabinet Gotong Royong Megawati, tampak keduanya memilih cara non-militer untuk menyelesaikan persoalan. Terlebih inisiatif, Jusuf Kalla dengan cara bekerja di balik layar (second track diplomacy) agar dapat masuk ke pusat pimpinan GAM, dalam rangka melakukan komunikasi politik di satu sisi dan sekaligus membangun kepercayaan. Peran yang menentukan ini dijalankan oleh orang-orang kepercayaan Jusuf Kalla, terutama Farid Husein yang mampu membangun trust building dengan keseluruhan lini GAM sampai ke pucuk pimpinannya. Duet SBY-JK yang memenangi pemilu 2004, menyebabkan second track diplomasi yang telah dijalani bisa dilanjutkan pada masa pemerintahan mereka.
Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya terjadi, tsunami 26 Desember 2004 telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Aceh. Antara Januari hingga Juli 2005, pemerintahan SBY-JK melakukan lima kali “pertemuan informal” dengan GAM di Helsinki. Pertemuan informal itu difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari.
Pertemuan yang tentunya disertai dengan tarik ulur kepentingan tanpa pertumpahan darah tentunya, akhirnya menghasilkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005, yang dikenal dengan MoU Helsinki. Sebuah kompromi politik untuk menyelesaikan masalah separatisme yang telah terjadi begitu lama, sehingga tidak menghasilkan formula win-win solution namun lebih ke lose-lose solution. Di satu sisi GAM kalah selangkah karena mengubah tuntutannya dari self-determination menjadi self-government, dan menerima konstitusi RI. Di sisi lain, Pemerintah RI juga kalah selangkah karena tidak berhasil membubarkan GAM, dan hanya membubarkan Tentara Negara Aceh (TNA—yang sekarang berubah menjadi Komite Peralihan Aceh, KPA). Namun dengan munculnya formula kompromi di mana demokrasi lokal menjadi instrumen bagi kedua belah pihak, cara inilah yang dapat menyelamatkan nyawa ribuan orang di Aceh yang senantiasa terhimpit oleh kekerasan demi kekerasan yang terjadi akibat konflik.
Dalam MoU Helsinki disebutkan bahwa Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik, yang akan diselenggarakan bersamaan dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri, pertahanan luar, keamanan nasional, hal ikhwal moneter dan fiskal, kekuaaan kehakiman dan kebebasan beragama, dimana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah RI sesuai dengan konstitusi. Disepakati pula untuk membentuk partai-partai lokal yang berbasis di Aceh.
Baca Terkait:
Daftar Sumber:
Hamid, Farhan, Ahamd. 2006, Jalan Damai Nanggroe Endatu. Jakarta: Suara Bebas.
Penulis:
Ajelita Winda Kesuma, M Yusrizal. dan Elshafira Putri (Tugas Makalah Sejarah Aceh Kontemporer Kelompok 2).
Editor:
Labels:
Aceh,
Sejarah Lembaga,
Sejarah Nasional
Thanks for reading Berangsurnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Please share...!