Terbukti, sejak pertama kali Negara Kincir Angin -julukan Belanda- menginvansi daerah yang kini menjadi provinsi paling barat Indonesia tersebut pada 1873, perjuangan rakyat Aceh tak pernah kendur. Perang terus menerus terjadi di Bumi Serambi Makkah hingga Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.
Perjuangan melawan kolonial Belanda, tidak hanya dilakukan oleh kaum pria semata. Namun, ada juga ‘inong-inong Aceh’ (wanita-wanita Aceh, -terj Bahasa Aceh) yang memimpin pasukan dengan mengangkat senjata dan bertempur langsung di medan perang.
Siapa saja inong-inong Aceh yang berani bertempur melawan invansi dan mengacaukan upaya Belanda untuk melakukan kolonial? Berikut ulasan singkat perjuangan dari inong-inong Aceh.
Pocut Meurah Intan (1833-1937)
Di telinga masyarakat awam, mungkin nama Pocut Meurah Intan tak segaung Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan pejuang inong-inong Aceh lainnya. Namun harus diketahui, perjuangan pahlawan wanita kelahiran Biheue, wilayah Sagi XXII Mukim pada 1833 ini, tidak kalah merepotkan Pemerintah Belanda kala itu.
Pengaruhnya terhadap pergerakan perjuangan di medan perang, bisa dibuktikan bahwa tokoh yang dengan nama lain dikenal dengan Pocut di Biheue tersebut, juga menyulitkan pemerintahan kala itu. Terbukti, diakhir hayatnya, ia harus diasingkan berates-ratus kilometer dari tanah kelahirnnya sendiri.
Pejuang yang masih memiliki darah keturunan Kesultanan Aceh ini, dikenal sangat antiterhadap kolonial Belanda. Ia bahkan rela menceraikan suaminya, Tuanku Abdul Majid, yang kala itu menyerah kepada penjajah. Sehingga dalam menjalankan perjuangan, ia mengajak ketiga anaknya, seperti Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, beserta pasukan lainnya untuk melakukan perlawanan.
Begitu gigih dan gencarnya perlawanan yang dilakukan membuat Belanda melakukan penyerangan terhadap pasukan Pocut Meurah Intan dan ketiga anaknya tersebut. Alhasil, anaknya, Tuanku Muhammad Batee ditangkap pasukan Belanda pada Februari 1900 di kawasan Tangse, Pidie. Tak hanya sampai di situ, dua bulan kemudian Pocut Meurah Intan juga harus berpisah dengan Tuanku Muhammad Batee, usai sang anak diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Kehilangan buah hati dari sisinya, tidak membuat wanita ini menyerah, bahkan ia semakin marah kepada Belanda. Hingga sampai tersiar kabar bahwa Pocut Meurah Intan akhirnya ditangkap di Sigli, Pidie pada 11 November 1902. Dalam proses penangkapan itu pun dikatan bahwa dirinya tidak mau menyerah begitu saja meski tubuhnya telah penuh dengan luka.
Melihat kondisi Pocut Meurah Intan yang terluka parah, Veltman, pimpinan pasukan Belanda pada waktu menawarkan pertolongan. Akan tetapi, rencong yang masih erat tergenggam ditangannya kala itu, membuat sejumlah pasukan marsose (pasukan khusus Belanda) terluka ketika akan mengamankannya.
Kegigihannya, membuat Belanda selaku musuh di medan perang mengakui semangat yang dimiliki Pocut Meurah Intan. Bahkan, pejuang wanita dari Aceh ini dijuluki sebagai ‘Heldhafting’ atau kepahlawanan yang terkenal untuk kegigihan dan keberaniannya.
Pocut Meurah Intan, beserta dua putranya, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, telah diamankan oleh Belanda. Selanjutnya, mereka pun diasingkan ke Blora, Jawa Tengah pada 6 Mei 1905 bersamaan dengan keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim. Ia pun menghembuskan nafas terakhir di tempat pengasingannya tersebut, pada 20 September 1937.
Meski kegigihan serta keberanian Pocut Meurah Intan telah diakui oleh Belanda, namun hingga kini perjuangannya belum diakui sepenuhnya oleh Indonesia. Sehingga, pejuang wanita asal Aceh ini belum mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.
Cut Nyak Dhien (1848-1908)
Berasal dari keluarga bangsawan, tidak membuat Cut Nyak Dhien, menjadi orang yang lemah dan manja. Pahlawan wanita asal Aceh kelahiran Lampadang, Kabupaten Aceh Besar, pada 1848 silam ini, dikenal tegas dan sangat disegani oleh Belanda maupun pejuang di Aceh pada masanya.
Istri dari Teuku Cek Ibrahim Lamnga (suami pertama Cut Nyak Dhien) tidak mengenal kompromi apabila berhadapan dengan Belanda. Amarah dan kebencian inong Aceh ini mulai timbul tidak lama setelah Negeri Kincir Angin itu melakukan invansi pertama kali pada 1873. Tidak pernah berkurang, bahkan semakin memuncak, ditambah ketika suaminya tewas ditangan Belanda, pada 29 Juni 1878.
Usai ditinggal gugur sang suami, Cut Nyak Dhien yang memimpin langsung perjuangan rakyat Aceh kala itu, melakukan pergerakan dan penyerangan secara bergerilya. Beberapa tahun berjuang bersama pengikutnya, pahlawan wanita yang kemudian dikenal sebagai ‘Ibu Perbu’ ini kemudian menikah kembali dengan pejuang Aceh lainnya, yakni Teuku Umar.
Sejak dua tekad dan impian pejuang Aceh ini disatukan pada 1880, perlawanan rakyat Aceh kepada Belanda semakin gencar. Tentunya perjuangan tersebut juga didukung oleh para pejuang-pejuang Aceh lainnya yang ada kala itu.
Kolaborasi dari taktik perjuangan keduanya, sempat membuat Belanda dirugikan sehingga banyak kehilangan senjata. Sebab, Teuku Umar pada saat itu membuat siasat untuk berpura-pura bekerja sama dengan Belanda. Setelah beberapa tahun kemudian, suami kedua Cut Nyak Dhien itu berpaling dan melakukan penyerangan terhadap negara penjajah tersebut.
Belanda yang merasa dikhianati coba melakukan penyerangan secara besar-besaran ke kawasan pantai barat Aceh (kini Kabupaten Aceh Barat). Dalam oeprasi itu, Teuku Umar tewas. Belanda menyergap suami Cut Nyak Dhien berserta pasukannya di wilayah Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899.
Kehilangan suami keduanya tidak mengendurkan perlawanan pahlawan wanita asal Aceh ini. Di tengah hutan belantara di kawasan pantai barat Aceh, ia masih menjadi momok menakutkan bagi Belanda.
Meskipun demikian, faktor usia tidak bisa dipungkiri. Cut Nyak Dhien yang tak lagi muda, mulai merasakan encok dan pengelihatannya pun tak setajam dulu (rabun). Sementara, jumlah pengikutnya mulai menipis, karena telah banyak yang gugur.
Melihat kondisi seperti itu, membuat Pang Laot, seorang pengawal Cut Nyak Dhien, merasa iba. Ia kemudian menjumpai Belanda dan melakukan kesepakatan. Ketika akan dievakuasi oleh pemerintah kolonial, Cut Nyak Dhien yang masih enggan menyerah terus melakukan perlawanan. Akan tetapi, kondisinya yang tak lagi prima membuat Belanda dengan mudah mengamankannya.
Sesuai kesepakatan dengan Pang Laot, Cut Nyak Dhien diperlakukan secara hormat. Untuk mengurangi pengaruhnya dalam perjuangan rakyat Aceh, ia pun kemudian diasingkan ke wilayah Sumedang, Jawa Barat, pada 11 Desember 1905. Tiga tahu setelah pengasingannya, Cut Nyak Dhien menghembuskan nafas terakhirnya, pada 6 November 1908 dan dimakamkan di Gungun Puyuh, Desa Sukajaya, Kecamatan Sumedang Selatan, Sumedang.
Tak hanya di Aceh, di pengasingannya, Cut Nyak Dhien pun sangat dihormati oleh warga sekitar. ‘Ibu Prabu atau Ibu Suci’, begitulah masyarakat sekitar mengenal Pahlawan Nasional Indonesia asal Aceh ini.
Puluhan tahun setelah meninggal, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada 1959. Tiga tahun kemudian, tepatnya 2 Mei 1962, Presiden Sokarno melalui SK Presiden RI Nomor 106 Tahun 1964, mengangkat Cut Nyak Dhien menjadi Pahlawan Nasional Indonesia.
Teungku Fakinah (1856-1933)
Teungku Fakinah, begitulah masyarakat Aceh mengenal pejuang wanita kelahiran tahun 1856, di Gampong Lambeunot, Mukim Lamkrak yang kini masuk wilayah Kabupaten Aceh Besar, Aceh, silam. Dirinya tak hanya berperan sebagai panglima dalam memimpin perjuangan melawan Belanda, namun juga sebagai ulama sekaligus membangun pendidikan Islam pada masa itu.
Berdasarkan sejumlah sumber sejarah menyebutkan, dalam memimpin perlawanan terhadap pemerintah kolonial, anak dari pasangan Datu Mahmud dan Cut Fathimah, sangat disegani dan ditakuti oleh musuhnya. Sementara, di luar medan tempur, ia dianggap sebagai sosok ulama besar dan memiliki pesantren yang dibangunnya sendiri.
Keberanian Teungku Fakinah didapatkan berkat pendidikan militer masa Keslutanan Aceh Darussalam yang pernah dienyamnya. Bahkan, dalam masa pendidikan itu, ia kemudian menemukan pujaan hatinya di sana dan menjadi suaminya, yakni Teungku Ahmad, seorang perwira muda sekaligus ulama. Sedangkan ilmu agama yang dimiliki pejuang wanita ini didapatkan dari ibunya, yang merupakan anak seorang ulama ternama masa itu di Aceh Besar.
Sebelum Belanda melancarkan invansi ke Aceh untuk pertama kali, pada 1873, Teungku Fakinah dan suaminya aktif mengajar membaca Alquran, ilmu-ilmu Islam dalam kitab-kitab berbahasa Melayu di Pusat Pendidikan Islam Dauah Lampucok milik ayahnya. Di samping itu, ia juga kerap memberikan ilmu menjahit, menenun, memasak, dan menyulam kepada wanita Aceh lainnya.
Perang antara Aceh dan Belanda untuk pertama kalinya meletus. Suami Teungku Fakinah yang ikut berperang gugur di medan pertempuran, di kawasan Pantai Cermin, Ulee Lheue. Kematian itu membuatnya ingin ikut terjun langsung berjuang. Memiliki kecakapan dalam bidang militer, Teungku Fakinah kemudian meminta izin kepada sultan dari Kesultanan Aceh pada saat itu untuk membentuk resimen (sukey) yang terdiri dari empat battalion (baling). Pasukan yang didominasi kaum perempuan itu kemudian diberi nama Sukey Fakinah dan ia sendiri menjadi panglimanya.
Selama perang berlangsung, ia bertempur di berbagai daerah di wilayah Aceh Rayeuk (kini Aceh Besar). Selanjutnya bergerilya kepedalaman Aceh bersama Sultan Muhammad Daud, Teungku Muhammad Saman Tiro, Tuanku Hasyim Bangta Muda, dan pejuang lainnya.
Sempat terjadi perselisihan antara Teungku Fakinah dengan pejuang Aceh lainnya kala itu, yakni Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien. Taktik Teuku Umar yang menyerah kepada Belanda dikira Teungku Fakinah merupakan sebuah penghianatan, sehingga ia kemudian menyurati Cut Nyak Dhien agar suami keduanya itu memerangi pasukan Sukey Fakinah.
Cut Nyak Dhien yang mendapat surat dari Teungku Fakinah, kemudian mengabarkan suaminya yang kala itu telah bergabung dengan Belanda. Perseteruan itu akhirnya bisa teratasi setelah Teuku Umar kembali lagi ke dalam barisan perjuangan rakyat Aceh.
Setelah puluhan tahun berjuang di hutan belantara, Teungku Fakinah kemudian kembali ke kampung halamannya pada 1910 dan setahun kemudian membuka perguruan pendidikan agama. Pesantren ini merupakan pusat pendidikan Islam yang dipimpin oleh perempuan. Rata-rata santri di pesantrennya kala itu tidak hanya kalangan remaja, namun juga perempuan paruh baya dan janda-janda perang.
Teungku Fakinah sempat menikah kembali dengan Tengku Nyak Badai, namun suami keduanya itu pun tewas dalam penyerbuaan yang dilakukan Belanda pada 1896. Ia pun harus kembali berjuang sendiri kala itu.
Panglima barisan perempuan sekaligus ulama Aceh ini menghembuskan nafas terakhirnya pada 1938 di kampung halamannya.
Cut Nyak Meutia (1870-1910)
Hampir sama halnya dengan Cut Nyak Dhien, perjuangan Cut Nyak Meutia melawan kolonial Belanda tak kalah gigih. Pejuang wanita kelahiran Keureutoe, Kecamatan Pirak Timu, yang kini wilayah Kabupaten Aceh Utara pada 1870 silam, bahkan harus gugur ketika sedang berjuang mempertahankan tanah airnya.
Meski perjuangan Cut Nyak Meutia bersama sang suami, Teuku Muhammad atau lebih dikenal sebagai Teuku Tjik Tunong dan pengikutnya terbilang baru dilakukan sekitar tahun 1901, namun perlawanan mereka telah mempersulit pemerintahan kolonial khususnya di wilayah pesisir timur Aceh. Gencarnya perjuangan pasangan suami istri ini membuat Belanda berang, hingga berujung penangkapan Teuku Muhammad pada 1905.
Suami Cut Nyak Meutia yang telah ditangkap, kemudian dibawa ke wilayah Lhokseumawe. Di sana, Teuku Muhammad dieksekusi oleh Belanda dengan hukuman mati.
Kematian itu ternyata tak membuat perjuangan anak dari Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah surut. Usai memenuhi wasiat sang suami untuk menikahi Pang Nangroe, yang tak lain adalah krabat Teuku Muhammad, perjuangan kembali berkobar.
Perjuangan dengan bergerilya di tengah hutan belantara dan sesekali melakukan penyerangan ke pos-pos penjagaan milik pasukan Belanda, sabotase jalur logistik ,dan kereta api, menjadi taktik ampuh dari pasangan Cut Nyak Meutia dan Pang Nangroe. Serangan-serangan yang dilakukan membuat pemerintah kolonial harus kehilangan pasukannya atau minimal mengalami luka-luka.
Upaya untuk memperlemah kekuatan Belanda terus dilakukan. Sayang, di tengah perjuangan itu, Cut Nyak Meutia harus kembali kehilangan suaminya yang gugur terkena tembakan ketika berada di wilayah Paya Cicem, Lhokseukon, pada 1910.
Berjuang menyusuri rimba Tanah Rencong terus dilakukan Cut Nyak Meutia meski Pang Nangroe, suaminya, telah gugur. Bahkan, ia terus bergerilya hingga ke wilayah Gayo Lues dan Alas. Belanda yang masih berang dengan perlawanan inong Aceh tersebut, terus melakukan pengejaran.
Pertempuran antara pasukan Cut Nyak Meutia dengan Belanda pecah di tengah hutan belantara di kawasan Alue Kurieng pada 24 Oktober 1910 dan dalam peperangan itu, pahlawan wanita asal Pirak ini gugur usai peluru menembus tubuhnya. Jenazah Cut Meutia baru diambil oleh pasukannya sehari setelah ia tewas atau usai pasukan Belanda tidak ada lagi di lokasi.
Atas kegigihan perjuangan mempertahankan tanah air dari invansi pemerintahan kolonial Belanda, Presiden Soekarnya melalui melalui SK Presiden Nomor 107/1964 di tahun 1964 menobatkan Cut Nyak Meutia sebagai Pahlawan Nasional Indonesia.
Pocut Baren (1880-1928)
Pocut Baren, pahlawan wanita asal Aceh kelahiran Kemukiman Tungkop, wilayah Sungai Mas, yang kini masuk dalam Kabupaten Aceh Barat pada 1880 ini, memiliki hubungan erat dengan Cut Nyak Dhien. Maklum saja, dalam melawan kolonial Belanda, ia menjadi salah seorang pasukan yang satu barisan dengan pahlawan nasional wanita tersebut.
Ditangkapnya Cut Nyak Dhien oleh Belanda pada 1905, tidak membuat perlawanan rakyat Aceh redup, khususnya bagi para pengikutnya. Salah sataunya perlawanan yang dilakukan oleh anak Teuku Cut Anmat Tungkop.
Di masa perlawanan menghadapi kolonial Belanda, Pocut Baren tak hanya berjuang bersama Cut Nyak Dhien, namun sang suami juga ikut di medan perang. Perjuangan bersama pasangan suami istri ini terpaksa terpisah, tak lama setelah Cut Nyak Dhien ditangkap, suami Pocut Baren tewas dalam pertempuran dengan Belanda di wilayah Keujren Game, Aceh Barat.
Kehilangan dua sosok penting dalam hidup dan perjuangan yang dilakukannya, tidak membuat Pocut Baren kehilangan semangat. Ia yang mulai diemban sebagai pemimpin pasukan, melakukan pergerakan dan perlawanan. Kawasan Gunong Mancang dipilih sebagai pusat pertahanan dan didirikan benteng di wilayah tersebut.
Setidaknya, kekuatan militer pemerintah kolonial di wilayah pantai barat Aceh hingga 1910 porak-poranda dibuatnya. Bahkan, kabarnya pasukan petinggi militer Belanda, seperti Letnan HJ Kniper, Letnan Brewer, dan Letnan CA Reumpol, serta 16 petinggi lainnya sempat berupaka menangkap istri dari Ampon Rasyid tersebut. Akan tetapi tidak berhasil.
HC Zentgraaff dalam catatannya menggambarkan bahwa sosok Pocut Baren sebagai pejuang wanita yang selalu dikawal lebih tiga puluhan pejuang pria. Ia berjuang dengan menggunakan pedang tajam yang terkenal di pantai barat sejenis kelewang bengkok.
Pertahanan yang dibuat Pocut Baren di Gunong Mancang akhirnya luluh lantak usai diserang secara besar-besaran oleh Belanda pada 1910. Pasukan marsose yang dipimpin Letnan Hoogers membuat pejuang Aceh di tempat tersebut harus berpindah dan membangun pertahanan baru.
Setelah memastikan kekuatan pasukan yang dipimpinnya kembali tangguh, Pocut Baren melakukan serangan ke markas Belanda. Meski pertempuran itu juga membuat pihak kolonial dirugikan, namun Pocut Baren berhasil dilumpuhkan oleh Belanda. Ia yang telah terluka parah kemudian ditawan dan perlawannya pun berakhir.
Usai ditawan Belanda, Pocut Baren beberapa tahun kemudian meninggal dunia pada 1933 dan dimakamkan di Kemukiman Tungkop yang merupakan kampung halamannya.
Meski belum mendapatkan gelar sebagai Pahlawan Nasional Indonesia dari Pemerintah Republik Indonesia, namun nama Pocut Baren telah disematkan oleh Pemerintah Aceh pada salah satu jalan di kawasan Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh, Aceh.[]
Thanks for reading Lima Pejuang Wanita Aceh: Tak Gentar Melawan Belanda. Please share...!