Di telinga masyarakat awam, mungkin nama Pocut Meurah Intan tak segaung Keumalahayati, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia, dan pejuang inong-inong Aceh lainnya. Namun harus diketahui, perjuangan pahlawan wanita kelahiran Biheue, wilayah Sagi XXII Mukim pada 1833 ini, tidak kalah merepotkan Pemerintah Belanda kala itu.
Pengaruhnya terhadap pergerakan perjuangan di medan perang, bisa dibuktikan bahwa tokoh yang dengan nama lain dikenal dengan Pocut di Biheue tersebut, juga menyulitkan pemerintahan kala itu. Terbukti, diakhir hayatnya, ia harus diasingkan berates-ratus kilometer dari tanah kelahirnnya sendiri.
Pejuang yang masih memiliki darah keturunan Kesultanan Aceh ini, dikenal sangat antiterhadap kolonial Belanda. Ia bahkan rela menceraikan suaminya, Tuanku Abdul Majid, yang kala itu menyerah kepada penjajah. Sehingga dalam menjalankan perjuangan, ia mengajak ketiga anaknya, seperti Tuanku Muhammad Batee, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, beserta pasukan lainnya untuk melakukan perlawanan.
Begitu gigih dan gencarnya perlawanan yang dilakukan membuat Belanda melakukan penyerangan terhadap pasukan Pocut Meurah Intan dan ketiga anaknya tersebut. Alhasil, anaknya, Tuanku Muhammad Batee ditangkap pasukan Belanda pada Februari 1900 di kawasan Tangse, Pidie. Tak hanya sampai di situ, dua bulan kemudian Pocut Meurah Intan juga harus berpisah dengan Tuanku Muhammad Batee, usai sang anak diasingkan ke Tondano, Sulawesi Utara.
Kehilangan buah hati dari sisinya, tidak membuat wanita ini menyerah, bahkan ia semakin marah kepada Belanda. Hingga sampai tersiar kabar bahwa Pocut Meurah Intan akhirnya ditangkap di Sigli, Pidie pada 11 November 1902. Dalam proses penangkapan itu pun dikatan bahwa dirinya tidak mau menyerah begitu saja meski tubuhnya telah penuh dengan luka.
Melihat kondisi Pocut Meurah Intan yang terluka parah, Veltman, pimpinan pasukan Belanda pada waktu menawarkan pertolongan. Akan tetapi, rencong yang masih erat tergenggam ditangannya kala itu, membuat sejumlah pasukan marsose (pasukan khusus Belanda) terluka ketika akan mengamankannya.
Kegigihannya, membuat Belanda selaku musuh di medan perang mengakui semangat yang dimiliki Pocut Meurah Intan. Bahkan, pejuang wanita dari Aceh ini dijuluki sebagai ‘Heldhafting’ atau kepahlawanan yang terkenal untuk kegigihan dan keberaniannya.
Pocut Meurah Intan, beserta dua putranya, Tuanku Budiman dan Tuanku Nurdin, telah diamankan oleh Belanda. Selanjutnya, mereka pun diasingkan ke Blora, Jawa Tengah pada 6 Mei 1905 bersamaan dengan keluarga Sultan Aceh bernama Tuanku Ibrahim. Ia pun menghembuskan nafas terakhir di tempat pengasingannya tersebut, pada 20 September 1937.
Meski kegigihan serta keberanian Pocut Meurah Intan telah diakui oleh Belanda, namun hingga kini perjuangannya belum diakui sepenuhnya oleh Indonesia. Sehingga, pejuang wanita asal Aceh ini belum mendapatkan gelar sebagai pahlawan nasional.[]
Thanks for reading Pocut Meurah Intan (1833-1937), Wanita yang Kegigihannya Sangat Diakui Belanda. Please share...!