Partai Daulat Aceh (PDA)
Lambang Partai Daulat Aceh (PDA). |
Tidak ada kata Islam dalam partai ini. Namun justru partai ini dideklarasikan oleh kalangan ulama dayah (pesantren). Partai ini bisa mengikuti Pemilu 2009 mengalahkan Partai Gahbthat, yang diklaim didukung oleh kalangan ulama dan santri yang dekat dengan mantan militer GAM. Orientasi Partai Daulat Aceh (PDA) adalah menegakkan syariat Islam di Aceh. Investor boleh masuk, syariat harus hidup, begitulah kira-kira obsesi PDA. Nurkalis menyatakan bahwa PDA bukan partai santri atau anggota pengajian. Sepintas lalu, nama partai ini mengingatkan pemilih pada Partai Daulat Rakyat yang dibentuk oleh Adi Sasono pekerja Lemabaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dekat dengan mantan Presiden B.J. Habibie.
Partai ini dibentuk oleh kalangan ulama dan cendikiawan pada 4 Maret 2007 dalam pertemuan dengan para ulama di Banda Aceh. Kemudian dideklarasikan pada 1 Februari 2008 di Banda Aceh yang dihadiri oleh 125 ulama Aceh, seperti Teungku Haji Hasanul Basri atau di kalangan dayah dikenal dengan nama Abu Mudi Masjid Raya dan Teungku Haji Muhammad Nasir Wali yang menjabat Ketua dan Wakil Ketua Mustayar.
Menurut Nurkalis, basis PDA di seluruh kabupaten kota di Aceh terutama dari kalangan Islam dan masyarakat yang cinta dengan ajaran Islam. Dia mengklaim Himpunan Ulama Daerah Aceh (HUDA), sangat mendukung PDA. PDA juga ikut didukung oleh santri yang tunduk ke organisasi Rabithat Thaliban Aceh (Ikatan Santri Dayah Aceh) yang memiliki kaitan dengan HUDA. Jalinan HUDA dengan PDA seperti hubungan Nahdalatul Ulama (NU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) di Pulau Jawa.
Jadi, dari segi wilayah, pendukung partai ini tersebut di 23 kabupaten kota karena memiliki ikatan emosional sesama santri dan alumni dayah. Ini kekuatan yang luar biasa karena melampaui batas etnik atau golongan. Mereka memiliki basis pemilih yang loyal dengan 693 dayah atau pesantren dengan 108.468 murid dan sekitar 700 balai pengajian di seluruh Aceh.
Lazimnya, sesama pemilik dayah memiliki hubungan satu guru pada dayah lainnya yang kemudian mengembangkan atau mendirikan dayah masing-masing di daerah asalnya atau di tempat lain. Jadi takzim (rasa hormat) murid kepada guru masih kental, sebagaimana patuh prajurit kepada komandannya. Pada mulanya, partai ini berasal dari suatu forum kajian yang dinamakan Forum Daulat Aceh itu berisikan santri, politisi lokal, warga biasa, dan para ulama dengan melakukan diskusi tentang agama, mengadakan pelatihan dan kajian di bidang partai politik nasional. Mereka merasa aspirasi pada partai nasional (Parnas) dan partai lokal (Parlok) yang ada tidak tersalurkan, maka dari itu forum pun sepakat mengubah diri menjadi partai politik (Parpol) lokal.
Ada yang mengejutkan penulis ketika mengiuti diskusi kebangsaan dalam rangka memperteguh Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), meneropong masa depan Aceh pembentukan Provinsi Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (Abas) sebagai solusi yang digelar oleh Dewan Pengurus Pusat Taruna Putih dan Dewan Pengurus Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) di Kantor PDIP di Lenteng Agung Jakarta, pada 24 Juli 2008. Pengamat militer Letnan Jenderal (Purn) TNI Kiki Syahnarki yang menjadi seorang pembicara menegaskan dari enam partai politik lokal di Aceh, hanya Partai Daulat Aceh yang pro Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibandingkan lima partai lokal lainnya.
Penulis meminta klarifikasi kepada Ketua Umum PDA Nurkalis pada 24 Juli 2008, yang menyatakan latar belakang lahirnya partai tersebut akibat kondisi ekonomi rakyat Aceh dan keadaan syariat Islam yang komprchensif tidak seperti yang diharapkan. Visi partai ini ingin mengembalikan sistem pemerintahan seperti masa Sultan Iskandar Muda, meskipun dalam bingkai NKRI. Menurutnya, semua partai politik lokal tetap merujuk bagian dari NKRI.
Nurkalis menambahkan, PDA memiliki program menghilangkan image yang menyatakan ulama tidak boleh berpolitik. PDA dibentuk untuk menampung aspirasi dari kelompok aktivis Islam yang cinta dan ingin menegakkan syariat Islam di Aceh secara kafah (total). Hal ini karena tanggapan PDA syariat Islam yang dijalankan di Aceh masih setengah-setengah.
Kiki yang merupakan mantan Wakil Kepala Staf Angkatan Darat itu menuturkan, jika Pemilu 2009 dikuasai oleh partai lokal, maka otomatis eksekutif dan legislatif juga akan dikuasai. Kondisi ini berarti tinggal satu langkah lagi menuju referendum.
Mantan Panglima Darurat Militer di Timor Leste pada tahun 1999 itu menambahkan, bila GAM menang pada Pemilu 2009, itu menjadi bukti bagi internasional bahwa Aceh memang ingin memisahkan diri dari NKRI. Kiki menguraikan kisah lepas Timor Timur dari Indonesia dari Indonesia bisa terulang jika pusat tidak mewaspadai perkembangan politik di Aceh. Bahkan dengan adanya partai politik lokal yang diperkirakan akan merajai Pemilu 2009, akan mengarah kepada referendum di Aceh. Dipaparkan, dulu Xanana mengubah perjuangan senjata ke forum politik dan ketika Habibie membuka pintu referendum, maka Timor Timur lepas. Nah, strategi itu saat ini dilakukan GAM yang mengubah pola perjuangan senjata ke pola perjuangan politik.
Nurkalis menyatakan, PDA memiliki dua majelis yaitu Majelis Nashidin, Majelis Mustasyar, dan Majelis Tanfidhiah. Majelis Nashidin terdiri dari ulama-ulama sesepuh Aceh yang memberikan nasihat kepada pengurus partai. Majelis Mustasyar terdiri dari 11 ulama yang memiliki otoritas memecat dewan pengurus serta membuat rumusan kebijakan dan sampai pada tingkat me-recall anggota dewan apabila PDA memiliki perwakilan di legislatif. Perangkat selanjutnya yakni Majelis Tanfidhiah, yaitu pelaksana dari kebijakan Majelis Nashidin dan Majelis Mustasyar.
PDA pantas diperhitungkan. Dengan kehadiran politisi Partai Bintang Reformasi (PBR) seperti Harmen Nuriqmar dalam partai ini, membuat posisi partai ini semakin tangguh. Pada tahun 2004, PBR masuk lima besar peraih suara dengan delapan kursi di DPR Aceh. Kantong-kantong suara mereka berasal dari dukungan ulama dayah dan santri yang sangat dihormati oleh warga setempat di mana dayah tersebut berdiri. Harmen merupakan kandidat wakil gubernur Aceh Pilkada 2006 yang berpasangan dengan Letnan Jenderal (Purn) Tamlicha Ali. Sebelumnya Harmen anggota DPR Aceh dari Partai Bintang Reformasi (PBR). Namun jelang Pemilu 2009, dia diganti oleh partainya pada 30 Januari 2009, karena menyeberang ke Parlok. Tak diragukan lagi, PDA bisa mendobrak dinding-dinding semua calon legislatif dari partai politik lokal dan partai nasional.
Ketua Umum Teungku Harmen Nuriqmar (sebelum dijabat oleh Teungku Nurkalis MY), Sekretaris Teungku Muhibussabri (sebelum dijabat oleh Teungku Mulyadi M. Ramli S.Pd.I), Bendahara Amiruddahri, dan Kantor PDA berada di Jalan T. Iskandar Desa Lambhuk, Banda Aceh.
Sumber:
Kawilarang, Harry. 2010. Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki. Banda Aceh: Bandar Publishing.
Editor:
Menulis Sejarah
Editor:
Menulis Sejarah
Labels:
Aceh,
Lembaga Nasional,
Partai Politik,
Sejarah Lembaga,
Sejarah Nasional
Thanks for reading Partai Daulat Aceh (PDA). Please share...!