Sarekat Islam (SI)
Gambar Lambang Serikat Islam (SI) (Doc. Google)
|
Sarekat Islam dapat dipandang sebagai salah satu gerakan politik yang menonjol sebelum Perang Duni II. Layak kiranya jika organisasi ini perlu mendapat sorotan sendiri karena ia mengalami perkembangan yang cepat dan dinamis. Cepatnya perkembangan juga membawa cepatnya kemunduran yang hanya beberapa tahun setelah puncaknya. Berkurangnya pengaruh organisasi dan timbulnya pertentangan intern menyebabkan mengendurnya simpati masa (Korver, 1982:1).
Sarekat Islam didirikan pada tahun 1912 oleh H. Samanhudi, seorang pengusaha batik di Kampung Lawean, Solo yang mempunyai banyak pekerja. Perusahaan batik lainnya ada di tangan orang Cina dan Arab, dan mereka memproduksi batik dalam partai besar, sedangkan di sekitar perusahaan besar itu terdapat perajin kecil yang dilakukan di rumah-rumah penduduk dengan membatik dan membuat batik cap yang mulai populer pada waktu itu. Penasihat Urusan Bumiputra, Rinkers mengatakan bahwa ketika terjadinya bentrokan dengan polisi seorang Cina terbunuh. Akibatnya di Surabaya terjadi pemogokan para pedagang Cina yang melumpuhkan ekonomi. Ia menghubungkan peristiwa ini dengan kejadian di Surakarta karena di tempat itu terjadi persaingan antara pedagang Lawean dengan firma Sie Dian Ho, berdagang buku, alat kantor, dan bahan batik. Pemboikotan terhadap firma ini melahirkan Sarekat Islam (van der Xal, 1967:86-87).
Selanjutnya Korver berpendapat bahwa sudah sejak lama di Solo berdiri perkumpulan Cina-Jawa yang bernama Kong Sing. Anggotanya pengusaha Cina dan Jawa, termasuk H. Samanhudi. Pada tahun 1911, ketika terjadi revolusi di Cina terjadilah sikap yang merenggangkan hubungan mereka dengan orang Jawa. Hal ini juga merenggangkan hubungan sesama anggota Kong Sing sehingga anggota Kong Sing Jawa mendirikan Rekso Rumekso yang kemudian menjadi Sarekat Islam (Korver, 1982:21).
Jelas kiranya bahwa tujuan utama Sarekat Islam adalah menghidupkan kegiatan ekonomi pedagang Islam Jawa, yang diikat dengan agama. Meskipun dari salah satu sumber disebutkan bahwa tidak ada persaingan antara pedagang Cina dan Jawa, sebenarnya hal ini tidak akan mungkin tidak terjadi di dunia perdagangan. Perubahan tingkah laku dan arogansi merenggangkan hubungan sosial mereka. Keadaan seperti ini memperkuat dan mendorong mereka untuk menyatukan diri menghadapi pedagang Cina. Agama Islam digunakan dan faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang Islam.
Tujuan utama Sarekat Islam untuk mengembangkan perekonomian berkali-kali ditekankan oleh pemimpin Sarekat Islam terkemuka, yaitu Umar Said Cokroaminoto. Ia adalah seorang orator yang cakap dan bijak, mampu memikat anggotanya. Dalam pidatonya pada rapat raksasa di Kebun Binatang Surabaya tanggal 26 Januari 1913, ia menegaskan bahwa tujuan Sarekat Islam adalah menghidupkan jiwa dagang Bangsa Indonesia, memperkuat ekonominya agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi tampak sekali, khususnya dengan berdirinya koperasi di Kota Surabaya. Di kota itu pula berdiri PT. Setia Usaha, selain menerbitkan surat kabar Utusan Hindia, juga menyelenggarakan penggilingan padi, dan juga mendirikan bank. Usaha itu semua dimaksud untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari ketergantungan bangsa asing (Sartono Kartodirjo, LS, 2, 1968:65).
Usaha meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa sendiri diterima dengan antusias oleh masyarakat lapisan bawah. Wong Cilik (masyarakat kecil) mendapat kesempatan untuk memperbaiki kehidupan yang sudah lama dinant-nantikan. Tidak salah kiranya jika Sarekat Islam mampu membaca keingan Wong Cilik yang menginginkan perbaikan upah kerja, sewa menyewa tanah, masalah-masalah yang berlaku di tanah partikelir, dan juga tingkah laku yang menyakitkan hati yang dilakukan para mandor dan kepala-kepala pribumi. Hal inilah yang merupakan kenyataan sebagai penderitaan rakyat yang harus diperbaiki. Maka tidak mengherankan kalau Sarekat Islam menjadi populer di kalangan rakyat bawah. Sarekat Islam segera meluas ke seluruh Jawa. Pada saat itu Cabang Jakarta mempunyai anggota 12.000 orang. Dalam rapat raksasa di Surabaya jumlah angggota bertambah menjadi 90.000 orang, terdiri dari 30.000 orang dari Cabang Solo, 16.000 dari Surabaya, 25.000 dari Jakarta, 23.000 dari Cirebon, dan 17.000 dari Semarang. Sementara itu telah ditolak sekitar 200.000 orang yang mendaftar diri sebagai anggota Sarekat Islam.
Dalam waktu kurang dari satu tahun Sarekat Islam sudah tumbuh menjadi organisasi raksasa. Karena itu pemerintah Hindia Belanda harus mencermati jejak Sarekat Islam yang dianggap membahayakan itu karena Sarekat Islam mampu memobilisasikan masa. Pada tahun 1914 anggota Sarekat Islam berjumlah 444.251 (Korver, 1982:225). Mengenai perkembangan yang cepat ini menimbulkan reaksi yang cepat pula dari pihak pemerintah. Gubernur Jenderal Idenburg (1909-1916) tidak menolak kehadiran Sarekat Islam dan muncul pertanyaan yang belum terjawab mengapa Sarekat Islam timbul dan cepat menjadi besar. Apa motivasi organisasi ini? Inilah yang menjadi tanda tanya besar Idenburg. Meskipun pada mulanya loyal pada pemerintah tetapi Sarekat Islam tetap tidak dapat dipercaya.
Mengapa reaksi terhadap makin luasnya keanggotaan Sarekat Islam itu, Idenburg berpendapat bahwa, menjadi jalangnya Sarekat Islam itu merupakan kenyataan bahwa orang bumiputra mulai memikirkan nasibnya dan inilah permulaan sadar dari tidurnya. Reaksi yang datang dari orang Belanda yang ketakutan di Eropa mengatakan bahwa Sarekat Islam identik dengan salah Idenburg. Sekiranya terjadi pembunuhan terhadap orang-orang Eropa oleh anggota Sarekat Islam maka itu merupakan bencana yang merupakan kesalahan Idenburg. Ditambah pula Belanda akan kehilangan jajahannya.
Kegelisahan timbul di kalangan pengusaha perkebunan sehingga di dalam surat kabar Soerabajasch Handlesbld dimuat iklan yang mencari opsir tentara Hindia Belanda yang sanggup memberi petunjuk bagaimana menjaga dan mempertahankan perusahaan perkebunan dan bangunan-bangunan lainnya. Perusahaan yang lain minta diberi izin untuk menggunakan senjata dan amunisi yang diambil dari gudang. Akan tetapi permintaan gila tidak diluluskan Idenburg.
Dari kalangan pangrehpraja berpendapat bahwa perkembangan Sarekat Islam harus diterima secara wajar, tetapi dipihak lain kehadirannya merupakan ancaman bagi keamanan dan ketertiban. Bupati yang progresif mengharuskan supaya pangrehpraja menduduki jabatan cabang Sarekat Islam. Sedangkan bupati yang konservatif akan menolak kehadiran Sarekat Islam dan dianggapnya mengurangi kewibawaannya dan mengancam kedudukannya.
Rinkes bersikap longgar terhadap Sarekat Islam, gerakan bumiputra memang sudah ada orang harus menerimanya, tetapi sebaiknya dengan jiwa dan sikap agung (van der Wal, 1967:215, 219). Bagi Idenburg, melarang begitu saja tidak ada gunanya, apalagi dengan tekanan dan penindasan. Jalan yang terbaik baginya adalah membuat kanalisasi, artinya mengurangi desakan kuat sehingga tidak timbul satu kekuatan besar yang dapat menghancurkan eksitensi kepada Sarekat Islam, sehingga organisasi ini leluasa menjalankan kegiatan tanpa ada hambatan dari pihak manapun. Idenburg hanya mau memberi badan humum pada cabang-cabang Sarekat Islam, sedangkan Central Sarekat Islam (CSI) baru akan diberikannya kemudian. Ini berarti bahwa hanya cabang lokal yang diakui secara resmi dan hubungan antara cabang dan koordinasi dari CSI diperlemah.
Dalam konsep Sarekat Islam tahun 1914 di Yogyakarta, Cokroaminoto terpilih sebagai pimpinan Sarekat Islam. Gejala konflik internal telah timbul di permukaan dan kepercayaan terhadap CSI mulai berkurang. Namun Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan bahwa kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk. Karenanya perpecahan harus dihindarkan, persatuan harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu.
Politik kanalisasi dari Idenburg terbilang berhasil karena CSI baru diberi pengakuan badan hukum pada bulan Maret 1916 dan keputusan itu diberikannya pada waktu ia hampir berhenti dari jabatannya. Idenburg digantikan oleh Gubernur Jenderal van Strium (1916-1921) yang juga seperti pendahulunya bersikap simpatik terhadap Sarekat Islam. Dalam kongres tahunan yang diselenggarakan tahun 1916, Cokroaminoto secara panjang lebar menguraikan perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Sementara itu persoalan pertahanan Hindia mulai banyak dibicarakan oleh golongan kolonial tertentu sehingga terbentuk Komite Pertahanan Hindia. Orang mengatakan bahwa Pertahanan Hindia ini berpengaruh terhadap proses kesadaran politik di Indonesia.
Pada Juni 1916 di Bandung diadakan kongres pertama yang dihadiri oleh 80 Sarekat Islam lokal yang meliputi 360.000 orang anggota. Kongres itu merupakan Kongres Nasional karena Sarekat Islam mencita-citakan supaya penduduk Indonesia menjadi satu natie atau satu bangsa dengan kata lain mempersatukan etnis Indonesia menjadi Bangsa Indonesia. Sudah disebut di atas bahwa Sarekat Islam setuju diadakannya Komite Pertahanan Hindia asal pemerintah membentuk Dewan Rakyat (Pringgodigdo, 1964:18).
Sebelum diadakanny Kongres Sarekat Islam kedua tahun 1917 di Jakarta, muncul aliran revolusioner sosialistis yang diwakili oleh Semaun yang pada waktu itu menjadi ketua Sarekat Islam lokal Semarang. Namun kongres itu tetap memutuskan azas perjuangan Sarekat Islam ialah mendapatkan zelf bestuur atau pemerintahan sendiri. Selain ditetapkan pula azas kedudukan kedua berupa Strijd tegen overheersing van het zonding kapitalisme atau perjuangan melawan penjajahan dari kapitalisme yang jahat (Pluvier, 1953:23). Sejak itu pula Cokroaminoto dan Abdul Muis mewakili Sarekat Islam dalam Dewan Rakyat.
Sudah disebut di muka bahwa keanggotaan Sarekat Islam terus meningkat dan itu terbukti dalam kongres tahun 1918 ketiga di Surabaya, anggotanya mencapai 450.000 yang berasal dari 87 Sarekat Islam lokal. Sementara itu pengaruh Semaun makin menjalar ke tubuh Sarekat Islam. Dikatakannya bahwa pertentangan yang terjadi bukan antara penjajah dan terjajah tetapi antara kapitalis dengan buruh. Karena itu perlu memobilisasikan kekuatan buruh dan tani, di samping tetap memperlakukan pengajaran dan penghapusan heerendiensten.
Di dalam Kongres Sarekat Islam keempat tahun 1919, Sarekat Islam memperhatikan gerakan buruh atau Serikat Sekerja (SS), karena Serikat Sekerja akan memperkuat kedudukan partai politik dalam menghadapi pemerintahan kolonial. Kemudian terbentukalah Persatuan Serikat Sekerja yang beranggotakan Serikat Sekerja Pengadaian dan Serikat Sekerja Pegawai Pabrik Gula, dan Serikat Sekerja Pegawai Kereta Api.
Selanjutnya perubahan-perubahan dalam tubuh Sarekat Islam dapat dilihat dari kongres-kongresnya. Setelah terjadinya peristiwa Cimareme dan kasus Afdeling B. maka pada akhir tahun 1919 diselenggarakan Kongres Sarekat Islam keempat. Suasana kongres lesu namun sementara perjuangan Sarekat Islam tetap ditegakkan dengan landasan perjuangan antar bangsa, yang ini berarti perjuangan melawan pemerintahan kolonial harus terus dilakukan. Di dalam tahun itu pula pengaruh sosialis komunis telah masuk ke tubuh Sarekat Islam Pusat maupun cabang-cabangnya setelah aliran itu mempunyai wadah dalam organisasi yang disebutnya Indische Sociaal Democratische Vereniging (ISDV).
Pada Kongres Sarekat Islam kelima pada tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijaksanaan Sarekat Islam Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang mendambakan aliran ekonomi dogmatis diwakili oleh Semaun dan aliran nasional keagamaan diwakili oleh Cokroaminoto. Kemungkinan dipersatukannya dua aliran itu ialah memformulasikan satu perjuangan Sarekat Islam menentang kapitalisme sebagai sebab utama timbulnya penjajahan. Jadi yang perlu ditentang adalah penjajahan yang disebabkan oleh tindakan kapitalis.
Rupanya gejala perpecahan semakin jelas dan dua aliran itu ternyata tidak dapat dipersatukan. Di dalam Kongres Sarekat Islam keenam yang diselenggarakan pada akhir tahun 1921 disetujui adanya disiplin partai. Sebagai akibat dilakukannya disiplin partai maka Semaun dikeluarkan dari Sarekat Islam karena berlaku ketentuan bahwa tidak diperbolehkannya merangkap dengan anggota partai lain. Dengan demikian terdapat dua aliran Sarekat Islam, yaitu 1) yang berazaskan kebangsaan-keagamaan berpusat di Yogyakarta dan 2) yang berazaskan Komunis berpusat di Semarang.
Kongres Sarekat Islam ketujuh yang diselenggarakan pada tahun 1923 di Madiun memutuskan bahwa Central Sarekat Islam diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Selanjutnya ditetapkan berlakunya disiplin partai. Di pihak lain cabang-cabang Sarekat Islam yang mendapatkan pengaruh Komunis menyatakan dirinya bernaung dalam Serikat Rakyat yang merupakan bangunan bawah Partai Komunis Indonesia (PKI).
Azas perjuangan Partai Sarekat Islam adalah nonkooperasi, artinya organisasi itu tidak mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial, tetapi organisasi itu mengizinkan anggotanya duduk dalam Dewan Rakyat atas nama diri sendiri. Kongres PSI 1927, menegaskan azas perjuangan bahwa tujuannya adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena tujuannya dinyatakan dengan tegas tentang kemerdekaan nasional maka Parai Sarekat Islam menggabungkan diri dalam Pemufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI). Nama Partai Sarekat Islam dengan Indonesia untuk menunjukkan tujuan perjuangan kebangsaannya dan kemudian namanya menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1927. Perubahan nama itu dapat dikaitkan dengan datangnya dr. Sukiman dari Belanda.
Di dalam organisasi Partai Sarekat Islam Indonesia terjadi perbedaan pendapat yang di satu pihak diwakili oleh Cokroaminoto menekankan perjuangan kebangsaan. Di pihak lain dr. Sukiman keluar dari organisasi lama dan mendirikan Partai Islam Indonesia (Parii). Rupanya perpecahan itu dipandang melemahkan Partai Islam Indonesia (PII) atau perjuangan Islam maka akhirnya dua lairan itu dapat dipersatukan kembali pada tahun 1937. Persatuan dalam Partai Sarekat Islam Indonesia hanya berlangsung singkat karena dr. Sukiman memisahkan diri lagi yang diikuti Wiwoho, Kasman Singodimejo, dan lain-lain.
Pada tahun 1940 Kartosuwiryo mendirikan Partai Sarekat Islam Indonesia Kartosuwiryo setelah keluar dari Partai Sarekat Islam Indonesia yang lama. Pada saat Jepang mendarat di Indonesia, kekuatan Islam terpecah menjadi beberapa aliran Partai Sarekat Islam Indonesia Abikusno, Partai Sarekat Islam Indonesia Kartosuwiryo, Partai Islam Indonesia (Parii) dr. Sukiman. Semua aliran itu tidak berdaya pada masa pendudukan Jepang yang melarang kehidupan partai politik di Indonesia.
Dikutip dari:
Suhartono. 2001. Sejarah Pergerakan Nasional (Dari Budi Utomo sampai Proklamasi (1908-1945)). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Editor:
Labels:
Lembaga Nasional,
Sejarah Lembaga,
Sejarah Nasional
Thanks for reading Sarekat Islam (SI). Please share...!