Iskandar Muda, Pahlawankah Dia?
Lukisan wajah Sultan Iskandar Muda. |
Ada tiga fakta sejarah yang menarik ketika mengetahul Sultan Iskandar Muda mendapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional pada 10 November 1993 lalu. Pertama, tentunya penganugerahan predikat Pahlawan Nasional dengan dasar kegigihannya mempertahankan prinsip kedaulatan. Kedua, yang menerima anugerah bukan keturunannya langsung, tetapi Syamsuddin Mahmud, selaku Gubernur Aceh. Ketiga, hal ini mengingatkan saya pada pernyataan Umar Kayam pada seminar dalam rangka PKA III, yakni, kira-kira bunyinya, setiap penguasa (tradisional) yang besar, adalah penakluk yang besar, dan sekaligus yang paling banyak menumpahkan darah, baik dari pihaknya, manpun dari pihak yang ditaklukkan.
Pernyataan ini mendapat sanggahan yang emosional dari seorang peserta. Bahwa itu pernyataan yang keliru karena Iskandar Muda adalah seorang sultan sebagaimana dirinya, tentu orang Aceh.
Lantas, adakah kini ketika Iskandar Muda dinobatkan sebagai pahlawan, dengan jarak waktu sekitar 350-an tahun ia mangkat, kita sudah mendapatkan sosok yang jelas tentang dirinya? Apa dan siapakah la. Iskandar Muda, yang telah menjadi bagian dari mitos keacehan? Raja yang sultan, yang membangkitkan emosi kita bila ada pernyataan yang “miring” terhadap dirinya. betapa pun tak jelasnya garis keturunan sang sultan.
Siapa Dia?
Iskandar Muda lahir sekitar 1590. la memiliki banyak nama dan gelar. Ada saatnya ia bernama Darmawangsa, Perkasa Alam, Tun Pangkat, Meukuta Alam dan akhirnya Meureuhum Meukuta Alam. Namun la diasuh oleh (bukan) kakeknya, Alauddin Riayat Syah. Ayah Mansur, adalah salah satu cucu dari salah satu anak Al-Kahhar. Ibunya Indra Wangsa, adalah cucu Al-Mukammil dari putri tersayang.
Jadi Alauddin, kakek pengasuhnya, menurut satu versi, anak nelayan yang perkasa, yang berhasil meniti karier sebagai laksamana. la berhasil naik tahta, karena Ali Riayat Syah, sultan yang didaulat oleh elit penguasa dikudeta. Sedangkan cucu dari anak perempuannya, yang merupakan kandidat sultan, masih dl bawah umur, dan meninggal di pangkuan Alauddin.
Namun, menurut versi lain, Alauddin adalah elit penguasa yang tertua di saat terjadi kevakuman kekuasaan. Atas kesepakatan elit lainnya. ia diangkat sebagai sultan, dan membunuh semua elit yang tak mendukung untuk mendaulatnya pada saat upacara pelantikan sebagai Sultan Aceh.
Alauddin mangkat karena dibunuh oleh anaknya, Sultan Muda. yang kemudian duduk sebagai Sultan Aceh, adalah juga paman Iskandar Muda. Demikianlah, kita dapat membayangkan bagaimana latar keluarga dan latar sosial di mana Iskandar Muda dibesarkan; dan sejauhmana pengaruhnya terhadap pembentukan wataknya.
Menjadi Sultan
Saat masih bemama Darmawangsa. ia banyak menimbulkan kesulitan bagi Sultan Muda, pamannya itu. Lantas ia meminta perlindungan pada pamannya yang lain, juga adiknya Sultan Muda, yakni Sultan Husin yang berkuasa di Pedir.
Kemudian, Perkasa Alam dilepas dari tahanan Sultan Muda karena diserahkan memimpin penyerangan ke Kuta Lubok yang dikuasai Portugis. Namun, ketika la kembali ke Kutaraja dari penyerangan yang meraih kemenangan itu, ia justru mengkudeta Sultan Muda.
Ada dua hal di sini yang menarik, pertama. ia mendapat dukungan dari Kadi Malikul Adil. Dalam lain kata, ulama istana, biasanya ulama fiqh seperti Nuruddin Ar-Raniry, juga terlibat dalam intrik politik di istana kesultanan. Kedua, Iskandar Muda menangkap Husin, paman pelindungnya, yang juga menginginkan jabatan sultan. Husin meninggal dalam status tahanan ponakannya itu.
Sebagai Sultan
Sebagaimana Alauddin, tindakan pertama yang dilakukan oleh Iskandar Muda adalah membunuh semua elit penguasa dan orang kaya lama, dan membentuk yang baru. Baru ia mengadakan penaklukkan, di antaranya: Johor, Pahang, Patani, Malaka, Aru dan daerah Sumatera belahan timur khususnya.
Iskandar Muda berkuasa antara tahun 1607-1636. Menurut Beaulieu, Laksamana Prancis, yang dikutip oleh Mohammad Said, sultan memiliki sejumlah kapal perang yang panjangnya 120 kaki, dengan; sejumlah bilik, dan mampu mengangkut 700-800 tentara per buah. Sultan memelihara sekitar 900 ekor gajah. Lalu tersedia baginya 300 pandai emas dan sejumlah tukang kayu, serta 1.500 hamba sahaya. Sedangkan istana dikelilingi oleh parit yang lebar dengan kedalaman 25-30 kaki, dan dinding batu setinggi 10-20 kaki dengan ketebalan 50 langkah. Untuk keamanan tersedia 500 orang pengawal khusus, 3.000 prajurit siaga, dan tujuh pucuk meriam.
Lantas kita pun dapat membayangkan bagaimana Iskandar Muda membangun jaringan kekuasaan, struktur elit baru dengan membasmi yang lama; dan juga membangun perlindungan bagi dirinya. Apakah itu semua dapat menunjukkan kondisi psikologis Iskandar Muda yang merasa kekuasaannya tidak terjamin, dan atau latar sosial Aceh memang begitu labil pada saat itu sehingga sekalipun merupakan sebuah kesultanan (pemerintahan politik Islam tradisional) di tengah latar sosial Islam tetap saja tak terjamin keberadaannya.
Sebagai Pribadi
Istana hanya diperuntukkan bagi sultan, para isteri, serta 20 orang putrinya dan seorang putra yang berusia 18 tahun. Beaulieu juga menginformasikan watak Iskandar, yang tidak dikutip Said melainkan oleh Denys Lombard.
Iskandar Muda sering begitu saja naik pitam dan pingsan. la sangat curiga terhadap golongan elit orang kaya, yang dianggapnya jahat dan kejam. Lantas bersama putrinya, ia sering melakukan penyiksaan terhadap wanita yang dicurigainya secara kejam hingga tiga jam lebih lamanya dengan peralatan yang telah dirancang secara khusus. Ia senang melihat penyiksaan binatang yang dilakukan atas perintahnya. Hal ini agaknya berkaitan dengan masa kanak-kanaknya yang telah berburu gajah liar pada usia 7 tahun, dan kerbau pada usia 12 tahun sebagai bagian pendidikan kesatriaan dari kakek asuhnya, Alauddin.
Namun, hal yang paling tragis adalah sebab kematian Iskandar Muda yang misterius, dan justeru terjadi pada usia kematangannya, yakni 46 tahun. Menurut satu versi, ada kemungkinan ia meninggal karena terserang penyakit yang bersumber dari Ibu Iskandar Tsani, Putri Pahang yang jelita. Sedangkan versi lain, ia diracun oleh wanita yang dikirim oleh raja Makasar ke Aceh sebagai “hadiah”.
Untuk merekonstruksi kematian Iskandar Muda, ada baiknya kita pertimbangkan hal berikut: pertama, keseluruhan proses suksesi para sultan dan sultanah Aceh; kedua. pembasmian para elit oleh Iskandar sendiri; ketiga, struktur sosial dan budaya yang labil; keempat, penjaga keamanan yang ketat di sekitar dirinya; dan kelima, khusus sikap Iskandar terhadap wanita. Kita dapat menyimpulkan kematian Iskandar Muda ada kaitannya dengan racun, wanita, intrik kekuasaan elit sekitarnya, dan suksesi.
Penutup
Dari satu episode sejarah sekaligus puncaknya ini, ada banyak sisi yang masih gelap dan hikmah yang dapat kita ambil. Oleh karena itu barangkali ini tugas sejarawan kita perlu melakukan rekonstruksi sejarah kesultanan Aceh. Apalagi saat ini ketika Iskandar Muda telah dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional karena hasratnya yang kuat untuk mempertahankan prinsip kedaulatan diri. Bagaimana mungkin, seorang sultan yang telah menjelma sebagai mitos itu, garis keturunannya di saat ini menjadi begitu kabur?
Mungkin, inilah mengapa mitos itu tak pernah membangkitkan etos bagi generasi sekarang, justru ketika Aceh semakin definitif dan memiliki konstruk sosial yang lebih mapan. Itulah juga mengapa, sebagaimana mitos, tokoh itu tak meninggalkan jejak-jejak budaya di mana kita bisa merefleksikan diri, melainkan emosi-emosi apologis yang ahistoris. Namun demikian. Iskandar Muda, itulah pahlawan kita, salah satu acuan dalam pencarian diri kita sendiri.
Penulis:
Otto Syamsuddin Ishak
(Adalah Direktur Center for Region And Human Studies, Banda Aceh).
(Adalah Direktur Center for Region And Human Studies, Banda Aceh).
Sumber:
Bek Tuwo Budaya. 2013. Iskandar Muda, Pahlawankah Dia?. (Online). (Diakses, 28 Juli 2017).
Serambi Indonesia, 18 November 1993.
Serambi Indonesia, 18 November 1993.
Editor:
Labels:
Aceh,
Sejarah Nasional,
Sejarah Tokoh,
Tokoh Nasional
Thanks for reading Iskandar Muda, Pahlawankah Dia?. Please share...!