Virginia Hall, Mata-mata Perempuan Paling Berbahaya di Perang Dunia II

Virginia Hall. (Dokumen: CIA Gov)
Tulisan mengenai Virginia Hall, Mata-mata Perempuan Paling Berbahaya di Perang Dunia II sebelumnya pernah dipublikasikan di nationalgeographic.grid.id, pada Kamis, 1 November 2018.

****

Selama Perang Dunia II, pemerintah Nazi terus memburu para pemberontak dan mata-mata sekutu. Selain itu, ada satu operasi khusus yang dilakukan Reich Ketiga untuk menangkap mata-mata yang membocorkan misi Nazi. Nama mata-mata tersebut adalah Virginia Hall, tapi Nazi lebih sering menyebutnya dengan “wanita pincang”.

“Saya akan memberikan apa pun asal bisa menangkap wanita Kanada pincang itu,” ucap Klaus Barbie, kepala Geheime Staatspolizei (Gestapo – polisi rahasia Nazi) yang terkenal, saat menggerutu kepada anak buahnya. Namun, meskipun sudah merencanakan beberapa usaha kejam, Barbie tidak pernah bisa menangkap Hall.

Virginia Hall bukanlah orang Kanada, tapi fakta bahwa dia memiliki kaki pincang benar adanya. Ia pernah mengalami kecelakaan saat berburu sehingga kaki kiri di bawah lututnya harus diamputasi. Sebagai ganti kakinya, Hall memakai alat protestik dari kayu seberat tujuh pon yang ia beri nama Cuthbert.

Kisah Hidup Virginia Hall
Hall dibesarkan di Baltimore, Maryland, oleh keluarga kaya dan bijaksana yang tidak pernah membatasi potensi putri mereka. Dikenal atletis, lucu, dan kritis, Hall dipilih sebagai “murid paling orisinal di kelas”nya.

Ia kemudian memulai kuliah di Barnard dan Radcliffe, namun akhirnya menyelesaikan studi di Paris dan Wina. Karena hal itu, dia jadi fasih berbahasa Prancis, Jerman, Italia, dan sedikit Rusia.

Setelah lulus kuliah, Hall melamar kerja di Dinas Luar Negeri AS, karena ingin melihat dunia dan melayani negaranya. Ia pun terkejut saat menerina surat penolakan dengan alasan: “Tidak ada wanita di sini. Itu tidak akan terjadi”.

Tidak menyerah, menurut Judith Pearson, pengarang buku The Wolves at the Door: The True Story of America’s Greatest Female Spy, Hall memutuskan masuk ke Kementerian Luar Negeri melalui ‘jalur belakang’. Awalnya, ia bekerja sebagai juru ketik di Kedutaan Besar AS di Warsaw, kemudian di Konsulat AS di Turki.

Saat berburu dengan teman-temannya di Turki pada 1933 itu lah, Hall terhuyung ketika memanjat pagar kawat dan tanpa sengaja menembakkan senapan ke arah kaki kirinya.  

Kembali ke rumahnya di Maryland, Hall mencoba melamar kembali ke Dinas Luar Negeri. Ia kembali ditolak, bukan karena ia adalah wanita, tapi karena kaki Hall telah diamputasi.

Ia pun menyerah dan kembali ke Paris sebagai warga sipil pada 1940 – tepatnya pada malam invasi Jerman. Hall kemudian menjadi pengemudi ambulans untuk tentara Prancis  selama beberapa waktu. Ketika Prancis menyerah pada Nazi, ia melarikan diri ke Inggris.

Saat menghadiri pesta koktail di London, Hall menggebu-gebu menyatakan kebenciannya pada Nazi. Tak lama kemudian, ada orang asing yang tiba-tiba memberikannya kartu nama sambil berkata: “Jika Anda benar-benar tertarik menghentikan Hitler, datang dan temui saya.”

Seseorang yang memberikan kartu nama itu ternyata adalah Vera Atkins, pelatih mata-mata Special Operations Executive (SOE) Inggris. Atkins terkesan dengan pengetahuan Hall tentang wilayah pedesaan Prancis, kemampuan berbahasa asingnya dan keberaniannya yang tidak terlupakan.

Mata-Mata Perempuan yang Dibenci Nazi
Pada 1941, Hall menjadi mata-mata perempuan pertama yang ditempatkan di Prancis, lengkap dengan nama dan dokumen palsu sebagai reporter New York Post. Dengan cepat, Hall membuktikan kemahirannya, tidak hanya menyiarkan kemabli informasi yang disebarkan pasukan Jerman, tetapi juga dalam merekrut jaringan mata-mata yang setia di Prancis Tengah.

Misinya dari SOE adalah untuk membuat Eropa ‘terbakar’ dengan sabotase gerilya dan taktik subversi terhadap pasukan Nazi.

Hall sangat terkenal di kalangan pemimpin Nazi sehingga Gestapo menjulukinya “yang paling berbahaya dari semua mata-mata sekutu”.

Ketika Barbie dan Gestapo mulai menyebarkan poster buronan untuk menangkap “wanita pincang”, Hall melarikan diri sejauh mungkin. Melakukan perjalanan melelahkan sepanjang 50 mil melintasi pegunungan Pyrenees ke arah selatan Spanyol. Udara November kala itu sangat dingin dan alat prostetiknya semakin menyiksa.
Virginia Hall saat menerima penghargaan Distinguished Service Cross. (Dokumen: Erik Kirzinger via Washington Post)
Di tempat persembunyian di gunung, Hall melaporkan keadaannya kepada pemimpin di London: bahwa dirinya sehat, tapi alat protestiknya semakin menyulitkan.

Meski begitu, Hall tidak menyerah melawan Nazi. Karena SOE Inggris menolak mengirimnya kembali ke Prancis, Hall kemudian bergabung dengan Office of Strategic Service (OSS), lembaga pendahulu CIA.

Pada 1944, beberapa bulan sebelum invasi D-Day di Normandy, Hall mmengendarai kapal torpedo Inggris ke Prancis, dan menyamar sebagai seorang wanita petani berusia 60 tahun. Dalam salah satu laporan OSS, dikatakan bahwa tim Hall berhasil meledakkan empat jembatan yang menewaskan 150 anggota pasukan Nazi dan berhasil menangkap 500 lainnya.

Setelah perang, Hall dianugerahi Distinguished Service Cross, salah satu penghargaan militer tertinggi AS atas keberaniannya dalam pertempuran. Hall menjadi satu-satunya perempuan yang menerima penghargaan tersebut selama Perang Dunia II.

Kembali ke tanah airnya, ia kemudian lanjut bekerja bersama CIA hingga pensiun di usia 60. Hall meninggal pada 1982.


Sumber:
Editor:

Pemimpin Penolak Perbudakan

Abraham Lincoln

Pemimpin Penolak Perbudakan

Abraham Lincoln. (Doc. Istimewa)
Abraham Lincoln adalah Presiden Amerika Serikat ke-16. Ia lahir di Hardin Country, Kentucky, pada 12 Februari 1809 dan meninggal di Washington DC tanggal 15 April 1865. Dalam karirnya ia dikenal sebagai tokoh yang mempertahankan kesatuan bangsa dengan menghapus perbudakan di Amerika Serikat.

Lincoln kecil hanyalah anak seorang tukang kayu. Ibunya meninggal saat ia masih kecil. Ketika sang ayah menikah lagi, Lincoln pun diasuh oleh ibu tirinya hingga dewasa. Jiwa merakyat Lincoln muncul di masa remaja, kala itu pada tahun 1828, ia menyewa kapal angkut untuk membawa muatan menuju New Orleans. Di situlah ia pertama kali menyaksikan perbudakan, ia kemudian berjanji kepada dirinya bahwa kelak ia akan menghapus praktik perbudakan tersebut.

Meski tidak mengenyam pendidikan resmi, karena otodidak, Abraham Lincoln yang gemar membaca pada akhirnya berhasil menjadi seorang pengacara. Di awal karirnya, ia sempat berkenalan dan menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Anne Rutledge. Dari ayah Anne Rutledge lah yang menyarankan Lincoln untuk terjun ke dunia politik.

Gayung bersambut, tidak butuh waktu lama, pada tahun 1834, Abraham Lincoln terpilih menjadi anggota DPRD untuk wilayah Illinois. Kemudian terpilih kemabali pada tahun 1838 dan tahun 1840. Pada masa ini, ia bertemu dengan Mary Owens dan menikahinya di tahun 1841. Setahun pernikahan mereka, Lincoln membuka biro hukum dengan seorang temannya bernama William H Herndon.

Karir Abraham Lincoln sempat terhenti karena terpilih sebagai anggota kongres di tahun 1846. Namun karena ia mengusulkan undang-undang untuk mengakhiri perbudakan di distik Columbia, maka keanggotaannya tidak diperpanjang. Lincoln kecewa, ia menghentikan kegiatan politiknya untuk beberapa waktu dan kembali fokus pada biro hukumnya.

Di tahun 1854, Lincoln kembali ke dunia politik karena isu perbudakan di negeri kembali menghangat. Kala itu masyarakat Amerika terbelah menjadi dua, wilayah utara menentang perbudakan sedangkan wilayah selatan mendukung perbudakan. Ia pun berjuang untuk merebut kursi dalam senat AS, namun dalam putaran pertama ia kalah bersaing dengan Stephen Douglas yang mendukung perbudakan.

Abraham Lincoln tidak menyerah, nyatanya pada Bulan Mei 1860, ia terpilih sebagai calon presiden dari Partai Republik. Dan setelah pemilihan, pada 4 Maret 1861, ia resmi memenangkan Pemilu dan terpilih sebagai Presiden Amerika Serikat ke-16. Namun sayangnya, ini adalah awal dari perang sipil di Amerika Serikat karena empat hari setelah Abraham Lincoln menjadi presiden, negara bagian selatan itu keluar dari Federasi Amerika Serikat. Perpecahan tersebut, kemudian memuncak hingga menyebabkan terjadinya perang saudara di Amerika Serikat dari tahun 1861-1865.

Pada pertengahan perang saudara, Presiden Abraham Lincoln mengeluarkan Proklamasi Pembebasan dengan menyatakan semua budak belia di negara-negara bagian ataupun daerah-daerah negara-negara bagian yang melawan Amerika Serikat akan bebas mulai 1 Januari 1863. Proklamasi itu mencetuskan semangat semua orang yang memperjuangkan kebebasan dan menjadi pendorong ke arah penghapusan perbudakan di seluruh Amerika Serikat.

Di tengah kemenangan militer Amerika Serikat (Utara) pada akhir perang saudara, Abraham Lincoln terpilih kembali pada tahun 1864 menjadi presiden. Namun, setahun kemudian tepatnya 18 April 1865, saat Amerika Serikat sudah memasuki masa damai, Presiden Abraham Lincoln ditembak kala menyaksikan teater Ford, Washington. Ia pun segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapat perawatan, akan tetapi keesokan harinya nyawanya tidak bisa diselamatkan.

Sumber:
Syahputra, Arbi. 2018. 100 Tokoh Modern Paling Berpengaruh di Dunia. Yokyakarta: CV. Solusi Distribusi.

***
Editor: Menulis Sejarah
Back To Top