Legenda dan Sejarah Kabupaten Banyuwangi

Patung Penari Gandrung, salah tempat wisata di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. @Doc. Yuk Kita Nulis
Legenda Asal Usul Banyuwangi
Konon, dahulu kala wilayah ujung timur Pulau Jawa yang alamnya begitu indah ini dipimpin oleh seorang raja yang bernama Prabu Sulahkromo. Dalam menjalankan pemerintahannya ia dibantu oleh seorang Patih yang gagah berani, arif, tampan bernama Patih Sidopekso. Istri Patih Sidopekso yang bernama Sri Tanjung sangatlah elok parasnya, halus budi bahasanya sehingga membuat sang Raja tergila- gila padanya. Agar tercapai hasrat sang raja untuk membujuk dan merayu Sri Tanjung maka muncullah akal liciknya dengan memerintah Patih Sidopekso untuk menjalankan tugas yang tidak mungkin bisa dicapai oleh manusia biasa. Maka dengan tegas dan gagah berani, tanpa curiga, sang Patih berangkat untuk menjalankan titah Sang Raja. Sepeninggal Sang Patih Sidopekso, sikap tak senonoh Prabu Sulahkromo dengan merayu dan memfitnah Sri Tanjung dengan segala tipu daya dilakukanya. Namun cinta Sang Raja tidak kesampaian dan Sri Tanjung tetap teguh pendiriannya, sebagai istri yang selalu berdoa untuk suaminya. Berang dan panas membara hati Sang Raja ketika cintanya ditolak oleh Sri Tanjung.

Ketika Patih Sidopekso kembali dari misi tugasnya, ia langsung menghadap Sang Raja. Akal busuk Sang Raja muncul, memfitnah Patih Sidopekso dengan menyampaikan bahwa sepeninggal Sang Patih pada saat menjalankan titah raja meninggalkan istana, Sri Tanjung mendatangi dan merayu serta bertindak serong dengan Sang Raja.

Tanpa berfikir panjang, Patih Sidopekso langsung menemui Sri Tanjung dengan penuh kemarahan dan tuduhan yang tidak beralasan.

Pengakuan Sri Tanjung yang lugu dan jujur membuat hati Patih Sidopekso semakin panas menahan amarah dan bahkan Sang Patih dengan berangnya mengancam akan membunuh istri setianya itu. Diseretlah Sri Tanjung ke tepi sungai yang keruh dan kumuh. Namun sebelum Patih Sidopekso membunuh Sri Tanjung, ada permintaan terakhir dari Sri Tanjung kepada suaminya, sebagai bukti kejujuran, kesucian dan kesetiannya ia rela dibunuh dan agar jasadnya diceburkan ke dalam sungai keruh itu, apabila darahnya membuat air sungai berbau busuk maka dirinya telah berbuat serong, tapi jika air sungai berbau harum maka ia tidak bersalah.

Patih Sidopekso tidak lagi mampu menahan diri, segera menikamkan kerisnya ke dada Sri Tanjung. Darah memercik dari tubuh Sri Tanjung dan mati seketika. Mayat Sri Tanjung segera diceburkan ke sungai dan sungai yang keruh itu berangsur-angsur menjadi jernih seperti kaca serta menyebarkan bau harum, bau wangi. Patih Sidopekso terhuyung-huyung, jatuh dan ia jadi linglung, tanpa ia sadari, ia    menjerit "Banyu..... ... wangi............... . Banyu    wangi ... .." Banyuwangi terlahir dari bukti cinta istri    pada suaminya.
Gambar ilustrasi legenda asal usul Banyuwangi. @Doc. Google
Sejarah Kabupaten Banyuwangi
Merujuk data sejarah yang ada, sepanjang sejarah Blambangan kiranya tanggal 18 Desember 1771 merupakan peristiwa sejarah yang paling tua yang patut diangkat sebagai hari jadi Banyuwangi. Sebelum peristiwa puncak perang Puputan Bayu tersebut sebenarnya ada peristiwa lain yang mendahuluinya, yang juga heroik-patriotik, yaitu peristiwa penyerangan para pejuang Blambangan di bawah pimpinan Pangeran Puger ( putra Wong Agung Wilis ) ke benteng VOC di Banyualit pada tahun 1768.

Namun sayang peristiwa tersebut tidak tercatat secara lengkap pertanggalannya, dan selain itu terkesan bahwa dalam penyerangan tersebut kita kalah total, sedang pihak musuh hampir tidak menderita kerugian apapun. Pada peristiwa ini Pangeran Puger gugur, sedang Wong Agung Wilis, setelah Lateng dihancurkan, terluka, tertangkap dan kemudian dibuang ke Pulau Banda ( Lekkerkerker, 1923).

Berdasarkan data sejarah nama Banyuwangi tidak dapat terlepas dengan keajayaan Blambangan. Sejak jaman Pangeran Tawang Alun (1655-1691) dan Pangeran Danuningrat (1736-1763), bahkan juga sampai ketika Blambangan berada di bawah perlindungan Bali (1763-1767), VOC belum pernah tertarik untuk memasuki dan mengelola Blambangan ( Ibid.1923 :1045 ).

Pada tahun 1743 Jawa Bagian Timur ( termasuk Blambangan ) diserahkan oleh Pakubuwono II kepada VOC, VOC merasa Blambangan memang sudah menjadi miliknya. Namun untuk sementara masih dibiarkan sebagai barang simpanan, yang baru akan dikelola sewaktu-waktu, kalau sudah diperlukan. Bahkan ketika Danuningrat memina bantuan VOC untuk melepaskan diri dari Bali, VOC masih belum tertarik untuk melihat ke Blambangan (Ibid 1923:1046).

Namun barulah setelah Inggris menjalin hubungan dagang dengan Blambangan dan mendirikan kantor dagangnya (komplek Inggrisan sekarang) pada tahun 1766 di bandar kecil Banyuwangi ( yang pada waktu itu juga disebut Tirtaganda, Tirtaarum atau Toyaarum), maka VOC langsung bergerak untuk segera merebut Banyuwangi dan mengamankan seluruh Blambangan. Secara umum dalam peprangan yang terjadi pada tahun 1767-1772 ( 5 tahun ) itu, VOC memang berusaha untuk merebut seluruh Blambangan. Namun secara khusus sebenarnya VOC terdorong untuk segera merebut Banyuwangi, yang pada waktu itu sudah mulai berkembang menjadi pusat perdagangan di Blambangan, yang telah dikuasai Inggris.
Peta dan Lambang Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. @Doc. Rumah Suluh
Dengan demikian jelas, bahwa lahirnya sebuah tempat yag kemudian menjadi terkenal dengan nama Banyuwangi, telah menjadi kasus-beli terjadinya peperangan dahsyat, perang Puputan Bayu. Kalau sekiranya Inggris tidak bercokol di Banyuwangi pada tahun 1766, mungkin VOC tidak akan buru-buru melakukan ekspansinya ke Blambangan pada tahun 1767. Dan karena itu mungkin perang Puputan Bayu tidak akan terjadi ( puncaknya ) pada tanggal 18 Desember 1771. Dengan demikian pasti terdapat hubungan yang erat perang Puputan Bayu dengan lahirnya sebuah tempat yang bernama Banyuwangi. Dengan perkataan lain, perang Puputan Bayu merupakan bagian dari proses lahirnya Banyuwangi. Karena itu, penetapan tanggal 18 Desember 1771 sebagai hari jadi Banyuwangi sesungguhnya sangat rasional.


Sumber:

Sejarah Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Bendera Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). @Doc. PB HMI
Berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) diprakasai oleh Lafran Pane, seorang mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), kini UII (Universitas Islam Indonesia) yang masih duduk ditingkat I yang ketika itu genap berusia 25 tahun. Tentang sosok Lafran Pane, dapat diceritakan secara garis besarnya antara lain bahwa Pemuda Lafran Pane lahir di Sipirok-Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Beliau adalah anak seorang Sutan Pangurabaan Pane –tokoh pergerakan nasional “serba komplit” dari Sipirok, Tapanuli Selatan.

Lafaran Pane adalah sosok yang tidak mengenal lelah dalam proses pencarian jati dirinya, dan secara kritis mencari kebenaran sejati. Lafran Pane kecil, remaja dan menjelang dewasa yang nakal, pemberontak, dan “bukan anak sekolah yang rajin” adalah identitas fundamental Lafran sebagai ciri paling menonjol dari Independensinya. Sebagai figur pencarai sejati, independensi Lafran terasah, terbentuk, dan sekaligus teruji, di lembaga-lembaga pendidikan yang tidak Ia lalui dengan “Normal” dan “lurus” itu (Walau Pemuda Lafran Pane yang tumbuh dalam lingkungan nasionalis-muslim terpelajar pernah juga menganyam pendidikan di Pesantren Ibtidaiyah, Wusta dan sekolah Muhammadiyah) ; pada hidup berpetualang di sepanjang jalanan kota Medan, terutama di kawasan Jalan Kesawan; pada kehidupan dengan tidur tidak menentu; pada kaki-kaki lima dan emper pertokoan; juga pada kehidupan yang Ia jalani dengan menjual karcis bioskop, menjual es lilin, dll.

Dari perjalanan hidup Lafran dapat diketahui bahwa struktur fundamental independensi diri Lafran terletak pada kesediaan dan keteguhan Dia untuk terus secara kritis mencari kebenaran sejati dengan tanpa lelah, dimana saja, kepada saja, dan kapan saja.

Adapun latar belakang pemikirannya dalam pendirian HMI adalah: “Melihat dan menyadari keadaan kehidupan mahasiswa yang beragama Islam pada waktu itu, yang pada umumnya belum memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Keadaan yang demikian adalah akibat dari sitem pendidikan dan kondisi masyarakat pada waktu itu. Karena itu perlu dibentuk organisasi untuk merubah keadaan tersebut. Organisasi mahasiswa ini harus mempunyai kemampuan untuk mengikuti alam pikiran mahasiswa yang selalu menginginkan inovasi atau pembaharuan dalam segala bidang, termasuk pemahaman dan penghayatan ajaran agamanya, yaitu agama Islam. Tujuan tersebut tidak akan terlaksana kalau NKRI tidak merdeka, rakyatnya melarat. Maka organisasi ini harus turut mempertahankan Negara Republik Indonesia kedalam dan keluar, serta ikut memperhatikan dan mengusahakan kemakmuran rakyat”.

Namun demikian, secara keseluruhan Latar Belakang Munculnya Pemikiran dan Berdirinya HMI dapat dipaparkan secara garis besar karena faktor, sebagai berikut:

Penjajahan Belanda atas Indonesia dan Tuntutan Perang Kemerdekaan;
1. Aspek Politik: Indonesia menjadi objek jajahan Belanda;
2. Aspek Pemerintahan: Indonesia berada di bawah pemerintahan kerajaan Belanda;
3. Aspek Hukum: Hukum berlaku diskriminatif;
4. Aspek pendidikan: Proses pendidikan sangat dikendalikan oleh Belanda;
5. Aspek ekonomi: Bangsa Indonesia berada dalam kondisi ekonomi lemah;
6. Aspek kebudayaan: masuk dan berkembangnya kebudayaan yang bertentangan dengan kepribadian Bangsa Indonesia;
7. Aspek Hubungan keagamaan: Masuk dan berkembagnya Agama Kristen di Indonesia, dan Umat Islam mengalami kemunduran, dikarenakan a). Adanya Kesenjangan dan kejumudan umat dalam pengetahuan, pemahaman, dan pengamalan ajaran islam; b). Kebutuhan akan pemahaman dan penghayatan Keagamaan; c). Munculnya polarisasi politik; d). Berkembangnya fajam dan Ajaran komunis; e). Kedudukan perguruan tinggi dan dunia kemahasiswaan yang strategis; f). Kemajemukan Bangsa Indonesia; dan g). Tuntutan Modernisasi dan tantangan masa depan.

Peristiwa Bersejarah 5 Februari 1947
Setelah beberapa kali mengadakan pertemuan yang berakhir dengan kegagalan. Lafran Pane mengadakan rapat tanpa undangan, yaitu dengan mengadakan pertemuan secara mendadak yang mempergunakan jam kuliah Tafsir. Ketika itu hari Rabu tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan dengan 5 Februari 1947, disalah satu ruangan kuliah STI di Jalan Setiodiningratan (sekarang Panembahan Senopati), masuklah mahasiswa Lafran Pane yang dalam prakatanya dalam memimpin rapat antara lain mengatakan “Hari ini adalah pembentukan organisasi Mahasiswa Islam, karena persiapan yang diperlukan sudah beres. Yang mau menerima HMI sajalah yang diajak untuk mendirikan HMI, dan yang menentang biarlah terus menentang, toh tanpa mereka organisasi ini bisa berdiri dan berjalan”.

Lafran Pane mendirikan HMI bersama 14 orang mahasiswa STI lannya, tanpa campur tangan pihak luar.
Pada awal pembentukkannya HMI bertujuan diantaranya antara lain: 1). Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia: dan 2). Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.

Sementara tokoh-tokoh pemula / pendiri HMI antara lain:
• Lafran Pane (Yogya);
• Karnoto Zarkasyi (Ambarawa);
• Dahlan Husein (Palembang);
• Siti Zainah (istri Dahlan Husein-Palembang);
• Maisaroh Hilal (Cucu KH.A.Dahlan-Singapura);
• Soewali (Jember);
• Yusdi Ghozali (Juga pendiri PII-Semarang);
• Mansyur;
• Anwar (Malang);
• Hasan Basri (Surakarta);
• Marwan (Bengkulu);
• Zulkarnaen (Bengkulu);
• Tayeb Razak (Jakarta);
• Toha Mashudi (Malang);
• Bidron Hadi (Yogyakarta).

Fase-Fase Perkembangan Sejarah HMI

Fase Konsolidasi Spiritual (1946-1947)
(Sudah diterangkan diatas)

Fase Pengokohan (5 Februari 1947–30 November 1947)
Selama lebih kurang 9 (sembilan) bulan, reaksi-reaksi terhadap kelahiran HMI barulah berakhir. Masa sembilan bulan itu dipergunakan untuk menjawab berbagai reaksi dan tantangan yang datang silih berganti, yang kesemuanya itu semakin mengokohkan eksistensi HMI sehingga dapat berdiri tegak dan kokoh.

Fase Perjuangan Bersenjata (1947–1949)
Seiring dengan tujuan HMI yang digariskan sejak awal berdirinya, maka konsekuensinya dalam masa perang kemerdekaan, HMI terjun kegelanggang pertempuran melawan agresi yang dilakukan oleh Belanda, membantu Pemerintah, baik langsung memegang senjata bedil dan bambu runcing, sebagai staff, penerangan, penghubung. Untuk menghadapi pemberontakkan PKI di Madiun 18 September 1948, Ketua PPMI/ Wakil Ketua PB HMI Ahmad Tirtosudiro membentuk Corps Mahasiswa (CM), dengan Komandan Hartono dan wakil Komandan Ahmad Tirtosudiro, ikut membantu Pemerintah menumpas pemberontakkan PKI di Madiun, dengan mengerahkan anggota CM ke gunung-gunung, memperkuat aparat pemerintah. Sejak itulah dendam kesumat PKI terhadap HMI tertanam. Dendam disertai benci itu nampak sangat menonjol pada tahun \’64-\’65, disaat-saat menjelang meletusnya G30S/PKI.

Fase Pertumbuhan dan Perkembangan HMI (1950-1963)
Selama para kader HMI banyak yang terjun ke gelanggang pertempuran melawan pihak-pihak agresor, selama itu pula pembinaan organisasi terabaikan. Namun hal itu dilakukan secara sadar, karena itu semua untuk merealisir tujuan dari HMI sendiri, serta dwi tugasnya yakni tugas Agama dan tugas Bangsa. Maka dengan adanya penyerahan kedaulatan Rakyat tanggal 27 Desember 1949, mahasiswa yang berniat untuk melanjutkan kuliahnya bermunculan di Yogyakarta. Sejak tahun 1950 dilaksankanlah tugas-tugas konsolidasi internal organisasi. Disadari bahwa konsolidasi organisasi adalah masalah besar sepanjang masa. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.

Fase Tantangan (1964–1965)
Dendam sejarah PKI kepada HMI merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi HMI. Setelah agitasi-agitasinya berhasil membubarkan Masyumi dan GPII, PKI menganggap HMI adalah kekuatan ketiga ummat Islam. Begitu bersemangatnya PKI dan simpatisannya dalam membubarkan HMI, terlihat dalam segala aksi-aksinya, Mulai dari hasutan, fitnah, propaganda hingga aksi-aksi riil berupa penculikan, dsb.

Usaha-usaha yang gigih dari kaum komunis dalam membubarkan HMI ternyata tidak menjadi kenyataan, dan sejarahpun telah membeberkan dengan jelas siapa yang kontra revolusi, PKI dengan puncak aksi pada tanggal 30 September 1965 telah membuatnya sebagai salah satu organisasi terlarang.

Fase Kebangkitan HMI sebagai Pelopor Orde Baru (1966–1968)
HMI sebagai sumber insani bangsa turut mempelopori tegaknya Orde Baru untuk menghapuskan orde lama yang sarat dengan ketotaliterannya. Usaha-usaha itu tampak antara lain HMI melalui Wakil Ketua PB Mari\’ie Muhammad memprakasai Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI) 25 Oktober 1965 yang bertugas antara lain:
• Mengamankan Pancasila.
• Memperkuat bantuan kepada ABRI dalam penumpasan Gestapu/ PKI sampai ke akar-akarnya. Masa aksi KAMI yang pertama berupa Rapat Umum dilaksanakan tanggal 3 Nopember 1965 di halaman Fakultas Kedokteran UI Salemba Jakarta, dimana barisan HMI menunjukan superioitasnya dengan massanya yang terbesar. Puncak aksi KAMI terjadi pada tanggal 10 Januari 1966 yang mengumandangkan tuntutan rakyat dalam bentuk Tritura yang terkenal itu. Tuntutan tersebut ternyata mendapat perlakuan yang represif dari aparat keamanan sehingga tidak sedikit dari pihak mahasiswa menjadi korban. Diantaranya antara lain, Arif rahman Hakim, Zubaidah di Jakarta, Aris Munandar, Margono yang gugur di Yogyakarta, Hasannudin di Banjarmasin, Muhammad Syarif al-Kadri di Makasar, kesemuanya merupakan pahlawan-pahlawan ampera yang berjuang tanpa pamrih dan semata-mata demi kemaslahatan ummat serta keselamatan bangsa serta negara. Akhirnya puncak tututan tersebut berbuah hasil yang diharap-harapkan dengan keluarnya Supersemar sebagai tonggak sejarah berdirinya Orde Baru.

Fase Pembangunan (1969–1970) 
Setelah Orde Baru mantap, Pancasila dilaksanakan secara murni serta konsekuen (meski hal ini perlu kajian lagi secara mendalam), maka sejak tanggal 1 April 1969 dimulailah Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). HMI pun sesuai dengan 5 aspek pemikirannya turut pula memberikan sumbangan serta partisipasinya dalam era awal pembagunan. Bentuk-bentuk partisipasi HMI baik anggotanya maupun yang telah menjadi alumni meliputi diantaranya:
• Partisipasi dalam pembentukan suasana, situasi dan iklim yang memungkinkan dilaksanakannya pembangunan;
•  Partisipasi dalam pemberian konsep-konsep dalam berbagai aspek pemikiran;
•  Partisipasi dalam bentuk pelaksana langsung dari pembangunan.

Fase Pergolakan dan Pembaharuan Pemikiran (1970–1998)
Suatu ciri khas yang dibina oleh HMI, diantaranya adalah kebebasan berpikir dikalangan anggotanya, karena pada hakikatnya timbulnya pembaharuan karena adanya pemikiran yang bersifat dinamis dari masing-masing individu.

Disebutkan bahwa fase pergolakan pemikiran ini muncul pada tahun 1970, tetapi geja-gejalanya telah nampak pada tahun 1968. Namun klimaksnya memang terjadi pada tahun 1970 dimana secara relatif masalah-masalah intern organisasi yang rutin telah terselesaikan. Sementara dilain sisi persoalan ekstern muncul menghadang dengan segudang problema.

Pada tahun 1970 Nurcholis Madjid menyampaikan ide pembaharuan dengan topic keharusan pembaharuan didalam pemikiran Islam dan masalah integritas umat. Sebagai konsekuensinya di HMI timbul pergolakan pemikiran dalam berbagai substansi permasalahan yang. Perbedaan pendapat dan penafsiran menjadi dinamika di dalam menginterpretasikan dinamika persoalan kebangsaan dan keumatan. Hal ini misalnya dalam dialektika dan perbincangan seputar Negara dan Islam, konsep Negara Islam, persoalan Islam Kaffah sampai pada penyesuaian dasar HMI dari Islam menjadi Pancasila sebagai bentuk ijtihad organisasi didalam mempertahankan cita-cita jangka panjang keummatan dan kebangsaan.

Fase Reformasi
Secara histories sejak tahun 1995 HMI mulai melaksanakan gerakan reformasi dengan menyampaikan pandangan, gagasan dan kritik terhadap pemerintahan. Sesuai dengan kebijakan PB HMI bahwa HMI tidak akan melakukan tindakan-tindakan inkonstitusional dan konfrontatif. Gerakan koreksi pemerintahanpertama disampaikan pada jaman konggres XX HMI di Istana Negara tanggal 21 Januari 1995. kemudian peringatan MILAD HMI Ke 50 Saudara Ketua Umum Taufiq Hidayat menegaskan dan menjawab kritik-kritik yang menyebutkan bahwa HMI terlalu dekat dengan kekuasaan. Bagi HMI kekuasaan bukanlah wilayah yang haram. Tetapi adalah wilayah pencermatan dan kekritisan terhadap pemerintahan. Kemudian dalam penyampaian Anas Urbaningrun pada MILAD HMI ke 51 di Graha Insan Cita Depok tanggal 22 Pebruari 1998 dengan judul “Urgensi Reformasi bagi Pembangunan Bangsa Yang Bermartabat”.

Sumber:
PB HMI. Tidak Ada Tahun. Sejarah. (Online). (Diakses, 12 April 2017).

Idjon Janbi, Bule Mualaf Pendiri Kopassus (Ultah Kopassus, 16 April 1952)

Idjon Janbi. @Doc. boombastis.com
Maraknya gangguan keamanan Jawa Barat membuat Panglima Siliwangi Kolonel Kawilarang membentuk pasukan khusus yang belakangan berkembang menjadi Kopassus dan Idjon Janbi menjadi pelatihnya.

tirto.id - Gangguan gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia yang bergerilya dan menakutkan di Jawa Barat tentu saja masalah besar bagi Panglima Siliwangi di Jawa Barat. Panglima Siliwangi ketika itu, Kolonel Alexander Evert Kawilarang, teringat idenya bersama almarhum Slamet Riyadi, mendirikan pasukan khusus.

Dalam autobiografinya, AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih (1989), Kawilarang menulis: “Untuk melawan gerakan-gerakan gerombolan yang mobil itu, saya perhitungkan, perlu dibentuk suatu kesatuan yang terlatih bertempur, secara kesatuan kecil sampai dengan dua orang saja dan all round. Dan itu harus diciptakan, diadakan.” Indonesia, menurutnya, harus punya pasukan khusus. Dia memulai dari kesatuan yang dipimpinnya dahulu.

Kawilarang beruntung. Orang yang cocok untuk melatih pasukan impiannya tinggal di Lembang, dekat dengan markas Divisi Siliwangi. Orang itu adalah bekas perwira pasukan khusus Belanda yang sudah menjadi warga Indonesia. Ia seorang bule bernama Mohammad Idjon Janbi.

Sekitar tahun 1952, Kawilarang memangil laki-laki yang usianya 5 tahun lebih tua darinya itu. Laki-laki bule itu datang dengan pakaian khaki drill ala tentara pula. Kawilarang menjelaskan niatnya untuk membentuk satu kompi pasukan komando. Kawilarang meminta Idjon sudi menjadi pelatihnya, permintaan yang disambut jawaban iya. Idjon pun beroleh pangkat mayor.

Pada 16 April 1952, Kesatuan Komando (Kesko) terbentuk di Divisi Siliwangi. Setelah pasukan Kesko lulus pelatihan, setiap anggotanya memakai badge bertuliskan "Komando" di lengan kirinya. Pasukan ini diujicobakan pada 1953 untuk menghalau DI/TII di Jawa Barat. Kawilarang cukup puas dengan aksi pasukan di Gunung Rakutak.
Beberapa anggota awal pasukan khusus itu adalah mantan anggota Korps Speciale Troepen (KST) Belanda, salah satunya yakni Nicholas Sulu. Ia belakangan terjebak dalam kemelut Permesta di Sulawesi Utara. Jadi, tak hanya Idjon saja bekas tentara Belanda yang jadi bagian dari pasukan proto-Kopassus ini.

Menurut Kawilarang, semula Idjon hanya dibantu Letnan Hang Haryono dan Sersan Mayor Trisno Yuwono. Keduanya pernah mengikuti Combat Intelligence dan memiliki wing penerjun. Nama terakhir belakangan terkenal sebagai penulis novel—Laki-laki dan Mesiu serta Pagar Kawat Berduri—yang doyan terjun payung. Dua pelatih itu dirasa kurang seiring berkembangnya pasukan khusus tersebut. Akhirnya, tenaga pelatih ekstra diambil dari Sekolah Kader Infanteri dan Depot Batalyon.

Pasukan ini bersalin nama berkali-kali. Dari Kesko Siliwangi, pasukan itu lalu berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD) pada 18 Maret 1953, lalu berganti lagi menjadi Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) pada 22 Juli 1955. Nama Pusat Pasukan Khusus AD (Puspassus AD) dan Komando Pasukan Sandi Yudha (Kopassanda) juga pernah dipakai pasukan yang sekarang dikenal sebagai Komando Pasukan Khusus ini.

Ketika pasukan itu sudah berkompi-kompi jumlahnya, Idjon Djanbi sempat menjadi komandan. Dia menjabat sampai 1956. Di masa bertugas, Idjon sempat terluka dan digantikan wakilnya, Mayor RE Djailani. Setelah itu, laki-laki yang bernama asli Rokus Bernadus Visser ini kembali jadi orang sipil yang dipekerjakan di Perkebunan Nusantara.
Idjon Janbi. @Doc. Tirto.id
Menurut catatan Ken Conboy dalam Kopassus: Innside Indonesia’s Special Forces (2003), Rokus Bernardus Visser adalah orang Belanda yang lahir pada 1915 sebagai anak petani bunga tulip sukses. Selepas kuliah, Visser muda membantu ayahnya berjualan bola lampu di London.

Setelah Negeri Belanda diduduki Jerman pada 1940 yang membuatnya tak bisa pulang, Visser bergabung dengan Militer Belanda yang sedang mengungsi di Inggris. Setahun pertama di dinas militer, Visser menjadi sopir mobil Ratu Wilhelmina yang ikut mengungsi di Inggris juga. Pangkatnya ketika itu sersan.

Selepas dari posisi supir sang ratu, Visser masuk Pasukan Belanda ke-2 sebagai pembawa radio. Sempat pula dia mendapatkan latihan komando di Inggris. Pengalaman tempur penting Visser adalah didaratkan dengan glider ke Belanda yang sedang diduduki Jerman dalam Operasi Market Garden September 1944.

Pasukan Belanda ke-2 dimasukkan bersama Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Dua bulan setelahnya, Visser digabungkan dengan pasukan Sekutu lain dan melakukan operasi pendaratan amfibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda. Di tahun 1945, dia mendapat promosi pangkat letnan dan dimasukkan ke Sekolah Pasukan Para di India.

Setelah Jepang kalah, Visser masuk ke Indonesia sebagai pasukan khusus Belanda pada Maret 1946. Atas kemampuannya, dia memimpin School voor Opleiding van Parachutisten di Jayapura, yang kala itu disebut Hollandia. Dia menempati bangunan bekas rumah sakit Amerika peninggalan pasukan McArthur. Sekolah terjun payung itu kemudian pindah ke Cimahi. Di tahun 1947, pangkatnya sudah kapten.

Visser ternyata betah di Indonesia dan setelah Tentara Belanda angkat kaki, dia memilih tinggal di Indonesia. Bahkan, ia bercerai dengan istrinya yang orang Eropa. Visser kemudian tinggal di Pacet, Lembang, sebagai petani bunga. Dia juga menikahi perempuan Sunda dan memakai "nama Islam": Mohammad Idjon Janbi.


Sumber:
Editor:
Menulis Sejarah
Back To Top