Ketika Para Pakar Mengkaji Keberadaan Darud Dunia
Ilustrasi. |
Dinas Kebudayaan Provinsi Aceh menggelar seminar kepurbakalaan bertajuk "Keraton Kesultanan Aceh "Darud Donya", di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Kamis, 14 September 2017. Seminar yang dilaksanakan tertutup untuk umum tersebut menghadirkan beberapa pemateri, seperti Drs. Rusdi Sufi, Taqiyuddin Muhammad, Lc., Misri A. Muchsin, dan Yudi Andika.
Dalam seminar tersebut, beberapa pemateri mengupas bagaimana kebudayaan Aceh masa lalu sehingga dikenal mancanegara. Salah satunya Aceh adalah sebagai daerah penghasil emas terbanyak di Asia bersama Jepang.
Rusdi Sufi dalam materinya menyebutkan, catatan mengenai Aceh juga banyak dicantumkan dalam naskah-naskah penjelajah asing. termasuk catatan tentang kondisi Dalam (penyebutan istana versi Aceh).
Sementara Taqiyuddin Muhammad dalam pemaparannya memperkuat pernyataan Rusdi Sufi mengenai jejak sejarah Aceh yang disampaikan dalam beberapa literatur. Di antara bukti jejak sejarah tersebut yang masih dapat ditemui saat ini adalah nisan dan Krueng Aceh.
"Sungai Aceh itu landmark pada Aceh. Namanya juga Aceh River (Krueng Aceh)," kata Taqiyuddin.
Menyikapi hal tersebut lah, Taqiyuddin mengatakan, penumpukan sampah di muara Krueng Aceh itu tidak strategis. Menurutnya, persoalan muara sungai tersebut tidak sebatas permasalahan nisan saja, karena Krueng Aceh sendiri adalah bagian dari sejarah daerah ini.
Taqiyuddin juga mengatakan makna pentingnya menemukan kembali struktur Darud Dunia untuk ilmu pengetahuan generasi muda Aceh di masa mendatang. "Keraton Darud Dunia perlu ditemukan kembali. Sejumlah literatur sudah menyebutkan adanya Darud Dunia, adanya keraton sultan-sultan Aceh," ungkap Taqiyuddin.
Catatan mengenai keberadaan istana Aceh ini disebutkan dalam catatan perjalanan penjelajah asing, dokumen penting kerajaan, naskah-naskah, dan surat-surat diplomasi antar-Kerajaan Aceh dengan dunia internasional. Selain itu, keberadaan keraton Aceh juga tersebut dalam temuan benda-benda sejarah seperti di nisan dan lainnya.
Di sisi lain, Taqiyuddin juga berharap kajian-kajian mengenai sejarah Aceh tidak merujuk pada pemahaman budaya non-Islam. Hal ini disebabkan peradaban Aceh masa lalu sangat kental dengan keislaman. Artinya, menurut Taqiyuddin, semua hal yang dibangun di Aceh itu bersumber dari ajaran Islam. termasuk bagaimana mengatur tata ruang kota dengan ilmu fiqih.
"Akal yang mempelajari atau mengatur daerah ini, itu Islam. Jadi ini yang perlu dipelajari, warisan Islam, warisan fiqih, apakah itu ilmu warisannya, maupun persoalan kota-kota Islam, karena itu fiqih juga menunjukkan. Bagaimana jarak jalan, seberapa jarak jalan, itu ada dalam fiqih. Apakah masjid itu berapa jendelanya, itu diatur dalam fiqih," kata Taqiyuddin.
Begitu pula dengan pemahaman asimilasi budaya Aceh yang terpengaruh Hindu-Budha, terutama mengenai kenapa harus pusat kota berada di dekat sumber mata air atau sungai. Menurutnya, budaya membangun pusat peradaban dekat sumber mata air merupakan gagasan dalam kebudayaan Islam.
"Itu ide Islam. Kita nggak berbicara Hindu Budha di sini, walau pun kita perlu mempelajari pra sejarah, pra Islam. Jadi ketika kita memahami bagaimana itu Bandar Aceh Darussalam, jangan khianati orang-orang Aceh dahulu. Mereka baca Alquran, mereka menyalin mushaf, mereka mengaplikasi hidup mereka dalam ajaran Islam, kita jangan mengerti (memahami) mereka dengan pandangan orang lain. Kita harus mengerti (memahami) mereka dengan pandangan mereka sendiri. Bagaimana hidup mereka waktu itu, itu baru sejarah. Bukan (memahami sejarah) dengan interpretasi kita," kata lulusan Al Azhar, Kairo, tersebut.
Sumber:
portalsatu.com
portalsatu.com
Labels:
Aceh,
Kabar Sejarah
Thanks for reading Ketika Para Pakar Mengkaji Keberadaan Darud Dunia. Please share...!